Selasa, 27 Mei 2014

PEDHUT MANDARAKA (3)


4. Yang Rebah Terkena Panah Asmara.

Surtikanti pergi dari hadapan Permadi dengan hati perih. Ia tidak menyangka bahwa dirinya yang anak raja besar, akan mendapat penolakan dari seorang pria. Sangkaannya, bahwa sebagai anak raja besar, semua apa yang dimaui pastilah akan terlaksana. Maka rasa sakit didalam hatinya telah mulai tumbuh menjadi dendam.

Sementara itu, walaupun hanya mengerti sedikit masalah diantara mereka berdua antara Pamadi dan Surtikanti, para penakawan tidak urung ikut menangis. Mereka menyesalkan perlakuan Pamadi terhadap Surtikanti. Mereka menyesalkan tampikan dari Pamade. Tapi apakah tangisan itu tulus atas nasib buruk Surtikanti? Ternyata tidak seluruhnya. Coba dengar apa kata Gareng.

“Aduh Truk, tadi aku lihat den ayu Surtikanti sikapnya begitu lugas. Bicaranya sekalimat demi sekalimat tertata sopan dan rapi. Tapi kenapa ndara Permadi menolak undangannya untuk mampir ke keputren. Padahal Truk, sudah aku bayangkan, disana pasti setidak-tidaknya kita akan disuguhi makanan”. Gareng menelan ludah, kemudian terusnya, “Kalau ndara Permadi nggak masalah menolak undangan itu. Dia memang terbiasa laku prihatin tanpa makan minum berhari hari. Lha kalau kita?”

“Eeeh kalian pada diam kenapa !! “Semar menyela obrolan Gareng.

“Disuruh diam kalau perutnya keroncongan bagaimana bisa diam!” Gareng ngeyel

“Ya dikendalikan . . . “ sabung Semar.

“Dikendalikan cara apa. Apa aku ini kuda liar apa gimana?” Gareng tetap ngeyel

“Eeh ya ditahan gitu . . “

“Kurang berapa lama lagi aku menahan diri. Berhari hari jalan sambil menahan lapar. Ditengah hutan kemarin itu aku nyari ubi gembili buat ganjel perut, tapi begitu sulitnya”.

“Jangan diucapkan pakai kata-kata”.

“Harus dikeluarkan unek-unek itu kok. Kalau tidak, bisa jadi penyakit dalam tubuh”.

“Jangan sampai diketahui orang lain rasa laparmu”

“Kamu anggap suara-suaraku seperti suara  yang nggak kepakai apa gimana?” Gareng masih tetap ngeyel. Semar akhirnya tidak lagi menyahuti kata-kata Gareng. Sekarang ia malah bertanya kepada Permadi.

“Haaa. .  ini bagaimana den, kenapa akhirnya jadi membuat orang menangis. Ini bagaimana? Bagaimanapun yang terjadi, seharusnya andika harus mempunyai rasa kasihan. Dewi Surtikanti itu bukan seorang wanita yang remeh. Ia adalah putri Mandaraka. Andika didekati diajak akrab. Diminta untuk mampir dan mau diberi suguhan sekedarnya dan salin, berganti kain buatannya. Ditolak. Seharusnya adalah, andika mau mampir walau sebentar dan minum barang seteguk. Kalaulah saya menjadi den ayu Surtikanti, pasti saya juga akan sakit hati”. 

Aku jadi teringat waktu lalu. Aku juga pernah merasakan seperti itu.” Petruk menyela sambil meratap.

Namun Gareng yang sebal Petruk menyama-samakan dengan Pamadi berkata, “Gombal amoh kamu Truk. Kamu kok mau kau samakan dengan Raden Permadi. Apanya yang sama?”

“Aku dulu juga pernah disuruh berganti kain”. Jawab Petruk, “Tapi setelah itu, tiap bulan aku dipotong gaji”.

“Itu namanya ngebon!! Ooh memang benar gombal kamu”. Bagong nyahut.

Permadi diam membiarkan para panakwan. Sejurus kemudian setelah mereka diam, Pamadi berkata kepada Semar“Memang aku tidak tega, kakang. Tapi kakang tahu, bila aku teringat akan kewajiban, nanti pasti akan ada kesempatian lain. Yang penting kali ini kita harus keluar dari Mandaraka. Ayo kakang Semar aku bakal pergi memenuhi tugas dari uwa Prabu Salya”.

Demikianlah, maka Pamadi dan para panakawannya telah sepakat segera pergi dari wilayah kraton Mandaraka. Namun belum sampai mereka beranjak, tiba tiba mereka melihat seorang wanita berjalan tergesa-gesa datang mendekat, “Lho . . . itu siapa yang datang kemari ?!!” tanya Petruk

“Eeeh iya, itu ada wanita lagi yang datang kemari. Raden, ayolah ditemui. Ttapi ingat jangan lagi membuat sakit hati”. Sambung Semar

Memang demikian. Kali ini yang datang kembali memenuhi tugas dari ramandanya adalah Dewi Banowati. 
Dengan langkah ringan memikat hati, Banuwati datang seorang diri dengan wajah tengadah, mata yang berbinar dan senyum yang selalu lekat dibibirnya. Setelah ia sampai dihadapan Pamadi dan para panakawan, ia bertanya kemayu. Kali ini Semar disapa terlebih dulu.

“Yang didepan ini,  aku sudah kenal. Bukannya kamu yang tadi aku lihat menghadap rama Prabu? Kakek pamong, bukankah kamu yang namanya Semar?”

“Ya, hamba yang namanya Semar.”

“Yang tiga lagi namanya siapa?” kini ketiga panakawan Pamadi disapa, tetap dengan  suara kenes.

“Hamba Nala Wigareng, Pancal Pamor.  Putranda dari Semar. Pangkat hamba lurah. Punya sapi tujuh dan bengkok saya luas. Motor saya baru . . . “ Gareng mengenalkan diri sambil menyombong.

“Lha kang Gareng ini  malah omong yang enggak enggak”. Petruk menyela, kemudian memperkenalkan diri,

“Nama saya Petruk”.

“Kalau saya Bagong”. 

Kalau aku hendak omong dengan tuanmu, kira kira aku harus berhubungan dulu dengan siapa?” tanya Banuwati.

“Saya”. Sahut Petruk cepat.

“Petruk, yang kamu ikuti itu namanya siapa?” . banuwati pura-pura tanya nama Pamadi.

“Namanya Pamadi”. Jawab Petruk.

Apa dia tidak bisa bicara?” tanya Banuwati.

“Yang sudah-sudah sih bisa!”, Petruk senyum menjawab dengan irama yang terseret oleh nada perkataan Banuwati.

“Omong dengan putri cantik itu harusnya yang halus”, Bagong mengingatkan Petruk.

“Tapi Gong, dianya yang mulai begitu”, Petruk tidak mau disalahkan.

“Petruk, bisanya aku omong sama tuanmu, itu harus dengan cara  bagaimana?” Kembali Banuwati bertanya
“Ada pepatah “jer basuki mawa beya”, Jawab Petruk yang kali ini mengeluarkan ajian akal bulus. “Kalau hendak mencapai keinginan harus ditebus dengan biaya. Misalnya kalau ingin berpakaian baik harus beli lebih mahal. 
Kalau mau makan enak harus keluar uang lebih banyak.  Jadi kalau kepengin omong-omong dengan orang seperti tuanku itu, ya harus melewati jalannya . . . . gitu”. Jurus awal sudah diterapkan. Dan sekarang Petruk mengetrapkan jurus kedua.

“Kalau saya sih tidak mengharapkan apa-apa den ayu. Beneeer, taruhan . . . . . . Kecilnya jari besarnya leher, saya tidak mengharapkan sesuatu apapun. Tapi den ayu lihat sendiri, saya punya sarung cuma satu. Sama . . . .  ya itu . . . saya dari rumah itu nggak bawa bekal seperakpun”.

“Lha Petruk ternya lebih dari minta . . . !“. Bagong yang dari tadi mendengarkan omongan Petruk, akhirnya nyeletuk.

“Petruk, kalau kamu bisa membuat aku dan bendaramu bisa saling bicara, Semua apa yang kamu minta, nanti akan aku turuti. Aku masih punya sabuk yang sudah tidak lagi dipakai oleh rama Prabu, dan sabuk itu terbuat dari kulit ular Dak Brama”. Ujar Banuwati

“Nggak usah saja, Den ayu, sabuk itu nanti malah mbakar pinggang saya. Petruk menolak dan kembali menyambung minta Banuwati menunggu sebentar. “Tunggu sebentar ya den ayu.. . . . . . . Ndara Permadi”,

“Apa Petruk?” Jawab Pamade

“Anu . . . . , kali ini mau diajak mampir ya. Ini rejeki bagi raden. Dan pasti meleber pada saya juga akhirnya. Mau ya”, kata Petruk bisik-bisik.

Semar yang melihat gelagat Petruk ngomong bisik-bisik menimpali, “Eeeeh jangan omong yang enggak-enggak! Ingat, ndaramu itu sedang menjalankan tugas. Aku berani taruhan kecil jari besar leher, sebab ndara Pamadi itu biasa bertindak adil, kalau Den Ayu Surtikanti tadi ditolak, pasti yang ini juga ditolak”.

Gareng ikut bicara mengiyakan, “Pasti nggak bakalan mau”.

“Pasti mau”. Petruk kukuh. “Semua watak ndara Pamadi itu seluruhnya sudah ada digenggaman saya, kok. Aku menjadi pemomongnya sudah lama. Aku bisa melihat setiap gelagat. Sesama orang melirik, lirikan ndara Pamadi dan lirikan orang lain bisa saja berbeda. Apalagi lirikannya Kang Gareng”, sambung Petruk
Sialan kamu Truk. Malah moyoki orang tua!! Gareng yang matanya jereng tersinggung.

“Pamadi . . . “ kali ini Banuwati langsung memanggil Pamadi. Namun Pamadi masih tetep diam.

Ayolah ndara, mbok disahuti gitu?” Petruk mengompori

“Ya raden ayu”. Pamadi menyahut. Kali ini pandangan keduanya bentrok. Pamadi yang dari tadi duduk menghormati anak raja Mandaraka sebenarnya telah tersihir oleh tingkah laku Banowati yang sedemikian memikat. Masing masing mata yang bertaut itu telah memercikkan api asmara dan membakar hati kedua anak muda itu.

Bila Pamadi pada waktu di Mandura ia telah melihat putri Prabu Basudewa yang hitam  manis dan hendak dijodohkan dengannya terlihat ayu, maka di Mandaraka ia menjumpai satu lagi putri raja yang cantik dengan tingkah laku lanyap dan sungguh membuat hatinya runtuh.

Tapi sebenarnyalah. Kedua mata yang bertaut itu masing masing telah melontarkan panah asmara. Terkena telak ke dada masing masing insan muda itu, yang kemudian nampak pada lahiriahnya adalah senyum dibibir masing masing. Sejenak keduanya memalingkan muka, dan pipi Banowati semburat memerah.

Setelah bisa menguasai diri, Banuwati berkata kepada Petruk mengalihkan pandangan dari mata Pamadi“Petruk, aku nggak mau disebut raden ayu sama dia. Mbok panggil namaku saja”.

“Baiklah, anu . .  Banowati mau pergi kemana” jawab Petruk salah mengartikan

Eeeh gombal amoh. Yang dimaui oleh den ayu Banowati itu ndaramu, Pamadi. Bukan kamu. Malah ikut-ikutan nyebut nama”. Gareng coba memberi pengertian.

Biar aja Ma, biar saja Petruk bertingkah, nanti modar dengan sendirinya dia”. Bagong ikut menimpali.

“Baiklah, kanda Banuwati.”

“Petruk . . . aku nggak mau disebut kanda . . . “

“Banuwati . . .”  Pamadi memberanikan diri menyebut nama itu.

“Aduh Petruk . . . . “ sekarang Banuwati yang kelimpungan. Katanya kepada Petruk sekenanya, “Petruk, itu sisa makan burung boleh kamu makan . . . .” Petruk melengos jengkel.

“Pamadi, mbok kamu jangan kelewat berlaku hormat seperti itu” kata Banuwati yang sudah menguasai diri dan muncul kembali sifat-sifat asli yang selalu memandang kehidupan dengan ringan,  Bertindaklah seperti halnya kamu berhadapan dengan saudara yang terpisah lama!

“Ya kanda . . .  eh . . Banuwati.”

“Eeeh ndara Pamadi, jangan mau berlaku seperti itu. Salah salah malah sampean bakal dipukuli orang se Mandaraka” Semar mengingatkan Pamadi agar tidak berlaku seperti yang Banuwati inginkan.

“Petruk . . “ kembali Banuwati memanggil Petruk.

“Ya den ayuu. . “

“Nanti kalau ada demit lewat, berhentikan dia. Suruh demit itu mencekik leher Semar. Banuwati sewot. “Orang kok sukananya ngojok-ojoki. Pamadi sudah mau, malah dicegahnya. Sebaiknya kamu semua malah mendukung. Apa kamu semua mau kelaparan?”.

“Ya mau saja. Orang dari tadi juga cuma dijanji janji saja kok . . . sekalian saja lapar”. Jawab Semar.

Banuwati tidak peduli dan memanggil Pamadi “Pamadi . .  “

Apakah nanti tidak diamarahi uwa Prabu?” Pamadi masih menanyakan keraguannya.

“Tidak. Semua aturan di Mandaraka aku yang mengatur. Jangan sungkan, ayo berdiri. Jangan duduk begitu. Kainmu yang bagus itu nanti kotor kena tanah”

“Apakah tidak kualat nantinya” lagi lagi Pamadi masih merasa sungkan.

“Tidak akan! “ tukas Banuwati.

“Nanti kainmu akan aku ganti yang kotor itu. Aku sudah menyediakan tiga lembar kain batik buatanku sendiri.”

“Lah ini . . . . , kita anak Semar bakal kebagian. Satu buat aku dua buat kang Gareng dan Bagong”. Lagi lagi Petruk salah tanggap. Tapi Banuwati tidak peduli dan meneruskan kata katanya sambil melirik Petruk.

“Kamu pakai satu demi satu dalam tiga hari kamu mampir dikeputrenku. Kalau yang lain dicuci, biar yang sudah kering siap pakai, kamu kenakan”.

“Lho kalau saya dikasih apa?” Petruk masih saja tanya.

“Kamu akan aku kasih terpal”. Banuwati meledek. Kemudian lanjutnya kepada Pamadi

“Pamadi, orang bagus seperti kamu seakan tidak hilang dari pandangan mataku walau mata ini aku pejamkan”. Banuwati maju mendekat kepada Pamade. Tangannya meraih lengan Pamadi dan berkata sambil mendekatkan wajahnya kearah Pamadi, “Alismu seperti digambar. Bibirmu seperti dicetak, sedang hidungmu seperti dibentuk. Kulitmu seperti dilabur emas dan rambutmu hitam berkilau, membuat aku begitu terpesona. Selama hidupku, aku belum pernah bertemu dengan lelaki yang tampan sepertimu”. Rayu Banowati

Pamadi tetap diam tetapi matanya lekat pada mata Banuwati. Ia telah dimabuk cinta.

“Pamadi, mampirlah dikeputrenku ya . . “

“Manakah jalannya kanda?” Kata Pamadi. Sebenarnyalah, disamping kata kata Semar yang dari awal mengingatkan agar jangan sampai menyakiti hati wanita, kali ini Pamadi telah terpikat oleh kemanjaan Banuwati.
“Kamu tidak usah mencari kanda Erawati. Kamu beristirahat dahulu. Sedikitnya enam bulan saja, ya!”.Kembali Banuwati menandaskan.

Baiklah Banuwati”

Maka demikianlah, Pamadi telah dalam tertancap panah asmara yang telah dilepas putri Mandaraka itu. Banowati yang begitu  mempesona, telah menyeret Pamadi yang telah rebah itu, ke dunia muda yang belum pernah ia tapaki.

Bujuk rayu Banuwati telah menyebabkan semua yang ada di dalam benaknya sedikit demi sedikit baur yang akhirnya kabur. Pamadi tak bisa lagi membedakan apa yang benar menurut nalar dan jiwa kesatrianya. Kesediaannya untuk pergi mencari Herawati telah luluh terkena oleh gerojok bujuk manis yang begitu menghanyutkan jiwanya.

Maka keduanya telah bergandengan tangan menuju keputren dengan mesranya, layaknya dua orang kekasih yang sudah lama tidak bertemu. Rasa sungkan Pamade telah hilang. Panah asmara yang sebenarnya telah menancap pada jantung keduanya, telah menjadikan mereka dua orang asmarawan sejati. Saling colek dan saling kerling. Singkatnya benteng asmara Pamadi telah runtuh luluh oleh senyum mesra Banuwati. Begitupun dengan Banuwati, telah lantak rasa kepatutan sebagai wanita lajang. Pesona Pamadi telah menyeretnya jauh dari tatanan susila.

Demikianlah, semakin dalam rasa cinta keduanya telah memabawa mereka ke wilayah yang belum seharusnya mereka masuki. Makin jauh, semakin lupa mereka, bahwa keduanya belum boleh melakukan hal yang tabu. Semalaman mereka bermesraan seperti yang dilakukan oleh penganten baru. Malam dingin keputren Banuwati telah hangat, bahkan panas oleh kobar api asmara keduanya.

Maka ketika ayam jantan telah berkokok untuk terakhir kali dipagi itu, dan ayam betina telah ribut menggugah anak-anaknya dari bawah ketiaknya, Pamadi bangun gelagapan dari tidurnya yang hanya sekejap. Dari tirai tipis jendela kamar terlihat matahari telah mengintip dari balik cakrawala. Ia telah bangun kesiangan.

Banuwati yang terbaring disampingnya terlihat pulas. Dipandangi sejenak sosok indah berkulit kuning gading, yang masih diam berselimut sutera sekenanya. Namun kini kesadaran Pamadi mulai tumbuh. Tak hendak mengusik tidur wanita cantik yang pulas dengan bibir tetap tersenyum, Pamadi bangkit pelahan. Dipandanginya sosok Banuwati. Dalam hatinya ia berjanji hendak menemuinya lagi nanti setelah usai tugas dilaksanakan. Kenangan manis malam tadi, tak urung telah membekas dalam-dalam direlung hati Pamadi.

Masih tanpa membenahi dirinya, segera dicarinya para panakawan yang sudah bangun sedari tadi sambil menghadapi minuman hangat dan beberapa potong makanan ringan.

Melihat datangnya bendaranya yang dalam keadaan tidak tertata, Petruk menyambut dengan kata-kata,”nDara, mbok rambutnya disisir dulu, masak rambutnya awut-awutan gitu Kang Gareng, mbok kerisnya itu dibetulkan.”

Gareng yang enak enakan minum, tidak mau disuruh dan menjawab sekenanya, “Biarkan saja Truk, orang dianya mau seperti itu.”

“Aeh  aeh . . . .  Ini gimana ndara sebaiknya. Andika yang sudah janji dengan sinuwun Prabu Salya jangan sampai mengingkari. Mari kita semua berangkat”. Semar mengingatkan.

Mereka yang belum puas wedangan dipagi itu segera bebenah. Sisa sedikit kue yang belum dimakan segera dikantongi oleh ketiga anak Semar, kemudian cepat cepat diteguknya minuman hangat yang masih tesisa. Tetapi ketika hendak keluar dari petamanan, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan datangnya Surtikanti. Pamadi kagok kepergok oleh Surtikanti yang kemudian berkata dengan muka ditekuk.

“Permadi, keterluan kamu. Kamu benar-benar telah membuat sakit hatiku. Banyak hal yang telah kamu katakan sebagai dalih untuk menampik kemauanku agar kamu mau mampir di keputrenku. Kamu bilang bahwa kamu sedang menjalankan tugas. Tapi mengapa, ketika Banuwati mengajakmu mampir, kamu hanya menurut”. 

“Aku mohon maaf, kanda Surtikanti”, Sela Pamadi. Tapi Surtikanti yang telah tertumbuhi dendam, tidak peduli dan melanjutkan kata katanya.

Aku tidak terima. Sebab kamu telah membuat sakit hatiku, semoga jagad menjadi saksi akan sumpahku terhadapmu. Pertama, semoga usahamu menemukan kanda Herawati akan gagal. Kedua seandainya nanti kamu kelaparan kamu tak akan mendapat makanan. Sedang kalau kamu kehausan, tak akan kamu temukan air”. 

Setelah mengucapkan kalimat itu Surtikanti berlalu dari hadapan Pamadi yang hanya berdiri diam menunduk. Sementara panakawan terbengong-bengong mendengar sumpah-serapah Surtikanti. Setelah peristiwa cepat itu berlalu, terdengar Semar memecah kesunyian.

“A-a-a-aaaah , itu adalah buah dari perbuatan andika yang tidak adil. Yang satu disakiti hatinya, sementara yang lain diperlakukan dengan manis. Ini sudah terlanjur”. Semar akhirnya berserah diri setelah semuanya diam.
“Oooooh gimana ini Gong, apa yang akan terjadi nanti setelah kita disumpahi semacam itu?” Petruk meratap-ratap

“Lha gimana lagi” Bagong juga ikut ikutan meratap

“Kakang Semar sudah lumrah apa yang terjadi. Semua orang yang tersakiti pasti ia akan kecewa. Kalau dilayanipun kata kata kanda Surtikanti, itu bakal menjadi hambatan perjalanan. Ayolah segera kita menjalankan tugas yang telah kita sanggupi”.

Itulah kata Pamadi menentramkan hatinya sendiri. Mereka segera melanjutkan perjalanan tanpa peduli lagi dengan kata-kata Surtikanti. Namun dalam hati yang paling dalam, kata kata serapah Surtikanti telah membekas dalam pikirannya. Serapah itu telah bergayut berat membebani langkahnya.

————————————————————————————————

Sementara itu di perkemahan para Kurawa, Raja muda Astina, Prabu Jakapitana atau Jayapitana, telah menemui Patih Sangkuni yang telah kembali dari Mandaraka. Seperti diketahui bahwa Patih Sangkuni telah melaporkan apa yang terjadi ketika mereka, para Kurawa, telah mendapatkan titik terang, akan keberadaan dewi Erawati. Ketika itu, Sangkuni juga telah mendapat restu dari Prabu Salya.

Dan sekarang para Kurawa yang telah selesai membangun pesanggrahan dengan megah. Walau perkemahan di tepi Bengawan  Silugangga itu hanya bersifat sementara, tetapi kemegahan itu seakan hendak menyamai keadaan di kotaraja Astina. Banyaknya wadyabala yang melingkupi bangunan itu nampak menyebar sehingga dari ujung yang satu tidak dapat melihat ujung yang lain.

“Paman, sudah tidak sabar lagi saya mendengar kabar dari si Paman”. Kata Jakapitana, “Apakah sampeyan sudah bisa menceritakan bagaimana hasil dari si Paman yang aku utus datang ke Mandaraka? Apakah si Paman sudah menceritakan bahwa aku sudah mendapat titik terang akan hilangnya Dewi Herawati. Sebab aku sudah melihat sosok yang ditengarai sebagai mahluk yang mencuri putri Mandaraka. Dan kecurigaan itu diperkuat dengan terdengarnya rintihan seorang wanita”. Jakapitana segera menanyakan apa yang telah dijalani di Mandaraka.

“Sedemikian gembira Prabu Salya, sebab sudah ada gelagat bakal ditemukan yang telah hilang yaitu dewi Herawati”. Demikian Sangkuni mulai menceriterakan perjalanannya ke Mandarka, “Dari awal hingga akhir tak ada yang terlewat, semua sudah hamba ceritakan kepada prabu Salya”.

Dursasana yang tidak mau diam ikut-ikutan  meminta keterangan dan memberikan pertanyaan kepada pamannya“Paman, kami tidak merecoki apa kata paman. Tapi sudahkah si Paman sekalian minta penjelasan, apakah benar-benar akan dijodohkan kakang Prabu Jakapitana dengan Dewi Herawati bila putrinya dapat diketemukan? Sebab yang namanya orang Man, bisa saja berubah kata-katanya sewaktu waktu. Sudah menetapkan apa belum Man, perjanjian yang telah dikatakan Man?”

Dursasana, jangan gegabah. Semua yang aku perbuat sudah aku pikirkan. Semua yang ada dalam perjanjian sudah aku tanyakan”.jelas Sengkuni.

“Sukurlah. Sebab aku kawatir, paman itu sudah tua yang terkadang lupa dengan apa yang harus dikatakan. Jangan sampai yang kita perbuat disini akan menjadi sia-sia. Sukurlah kalau demikian Paman!” sambil terus badannya bergerak-gerak, Dursasana sementara puas dengan jawaban pamannya

Kartamarma juga minta keterangan, “Di Mandaraka sana si Paman diberi perintah apa saja”.

“Begini, bila nanti kita sudah bisa mengembalikan Dewi Erawati ke Mandaraka, maka tidaklah seketika itu juga bakal dilakukan upacara perkawinan, tapi mestinya nunggu dulu hari baik. Semua perbuatan yang terburu buru itu tidak akan baik jadinya”. Jawab Sangkuni.

Sekarang Dursasana yang selalu usil, bertanya lagi, “Upama ya Man, kalau saya yang bisa menemukan, itu bagaimana aturannya?

“Kamu harus mengalah kepada kakakmu! Anggaplah kamu mengawinkan kakakmu. Jangan dimakan sendiri”. Dengan sabar Sangkuni menjelaskan.

“Baiklah. Saya menurut saja apa kata si Paman. Semua yang aku perbuat segalanya hanya aku persembahkan untuk saudara tua” Dursasana menjawah puas. Tapi kemudian ia mengalihkan pembicaraan,.” Tapi saya heran Man, manusia lumrah itu tidak mungkin berhuni didalam bengawan. Kalau menyelam sebentar saja bagi manusia itu bakal megap-megap. Tapi itu yang saya lihat, manusia pencuri itu bisa berjalan seperti layaknya jalan diatas tanah. Ketika diterangi dengan obor, makhluk itu sirna seperti ditelan bumi. Itu hal yang saya kira sangat sulit bagi kita untuk mencari pencuri seperti itu”.

“Begini ya Dur, kamu dan saudaramu para Kurawa segeralah tata baris. Lakukan pengepungan dari sini sampai ke pinggir samudra. Supaya jangan sampai pencuri itu dapat meloloskan diri.” Sangkuni mengunci pembicaraan.

Demikianlah setelah pembicaraan yang bertele-tele usai, para Kurawa segera dikerahkan melakukan penyelaman kedasar bengawan. Segala peralatan atas air dan selam dipergunakan oleh ratusan prajurit yang menceburkan diri ke kedalaman bengawan. Seketika banyak hewan air berlompatan menghindar dari kepungan prajurit. Mereka menduga bahwa akan menjadi sasaran buruan orang orang yang menyelam kedalam bengawan
Benarlah perkiraan Para Kurawa. Ternyata didalam bengawan terdapat sebuah negara bawah air yang bernama Tirtakadasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar