Jumat, 03 April 2015

SANGKUNI // HARYO SUMAN

 Sangkuni, atau yang dalam ejaan Sanskerta disebut Shakuni (: शकुनि ; śakuni) adalah seorang tokoh antagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan paman para Korawa dari pihak ibu. Sangkuni terkenal sebagai tokoh licik yang selalu menghasut para Korawa agar memusuhi Pandawa. Antara lain, ia berhasil merebut Kerajaan Indraprastha dari tangan para Pandawa melalui sebuah permainan dadu.
Dalam pewayangan Jawa, Sangkuni sering dieja dengan nama Sengkuni. ketika para Korawa berkuasa di Kerajaan Hastina, ia diangkat sebagai patih. Dalam pewayangan Sunda, ia juga dikenal dengan nama Sangkuning.
Asal-Usul Sangkuni dalam Versi Mahabharata
Menurut versi Mahabharata, Sangkuni berasal dari Kerajaan Gandhara. Ayahnya bernama Suwala. Pada suatu hari adik perempuannya yang bernama Gandari dilamar untuk dijadikan sebagai istri Dretarastra, seorang pangeran dari Hastinapura yang menderita tunanetra. Sangkuni marah atas keputusan ayahnya yang menerima lamaran tersebut. Menurutnya, Gandari seharusnya menjadi istri Pandu, adik Dretarastra. Namun karena semuanya sudah terjadi, ia pun mengikuti Gandari yang selanjutnya menetap di istana Hastinapura.
Gandari memutuskan untuk selalu menutup kedua matanya menggunakan selembar kain karena ia sangat setia kepada suaminya yang buta. Dari perkawinan mereka lahir seratus orang Korawa, yang sejak kecil diasuh oleh Sangkuni.
Di bawah asuhan Sangkuni, para Korawa tumbuh menjadi anak-anak yang selalu diliputi rasa kebencian terhadap para Pandawa, yaitu putra-putra Pandu. Setiap hari Sangkuni selalu mengobarkan rasa permusuhan di hati para Korawa, terutama yang tertua, yaitu Duryodana.
Konon Sangkuni merupakan reinkarnasi dari Dwapara, yaitu seorang dewa yang bertugas menciptakan kekacauan di muka bumi.
Asal-Usul Sangkuni Versi Pewayangan
Dalam pewayangan, terutama di Jawa, Sengkuni bukan kakak dari Dewi Gendari, melainkan adiknya. Sementara itu Gandara versi pewayangan bukan nama sebuah kerajaan, melainkan nama kakak tertua mereka. Sengkuni sendiri dikisahkan memiliki nama asli Harya Suman.
Pada mulanya raja Kerajaan Plasajenar bernama Suwala. Setelah meninggal, ia digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Gandara. Pada suatu hari Gandara ditemani kedua adiknya, yaitu Gendari dan Suman, berangkat menuju Kerajaan Mandura untuk mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Kunti, putri negeri tersebut.
Di tengah jalan, rombongan Gandara berpapasan dengan Pandu yang sedang dalam perjalanan pulang menuju Kerajaan Hastina setelah memenangkan sayembara Kunti. Pertempuran pun terjadi. Gandara akhirnya tewas di tangan Pandu. Pandu kemudian membawa serta Gendari dan Suman menuju Hastina.
Sesampainya di Hastina, Gendari diminta oleh kakak Pandu yang bernama Drestarastra untuk dijadikan istri. Gendari sangat marah karena ia sebenarnya ingin menjadi istri Pandu. Suman pun berjanji akan selalu membantu kakaknya itu melampiaskan sakit hatinya. Ia bertekad akan menciptakan permusuhan di antara para Kurawa, anak-anak Drestarastra, melawan para Pandawa, anak-anak Pandu.
Asal-Usul Nama Sangkuni
Menurut versi pewayangan Jawa, pada mulanya Harya Suman berwajah tampan. Ia mulai menggunakan nama Sengkuni semenjak wujudnya berubah menjadi buruk akibat dihajar oleh Patih Gandamana.
Gandamana adalah pangeran dari Kerajaan Pancala yang memilih mengabdi sebagai patih di Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Pandu. Suman yang sangat berambisi merebut jabatan patih menggunakan cara-cara licik untuk menyingkirkan Gandamana.
Pada suatu hari Suman berhasil mengadu domba antara Pandu dengan muridnya yang berwujud raja raksasa bernama Prabu Tremboko. Maka terciptalah ketegangan di antara Kerajaan Hastina dan Kerajaan Pringgadani. Pandu pun mengirim Gandamana sebagai duta perdamaian. Di tengah jalan, Suman menjebak Gandamana sehingga jatuh ke dalam perangkapnya.
Suman kemudian kembali ke Hastina untuk melapor kepada Pandu bahwa Gandamana telah berkhianat dan memihak musuh. Pandu yang saat itu sedang labil segera memutuskan untuk mengangkat Suman sebagai patih baru. Tiba-tiba Gandamana yang ternyata masih hidup muncul dan menyeret Suman. Suman pun dihajar habis-habisan sehingga wujudnya yang tampan berubah menjadi jelek.
Sejak saat itu, Suman pun terkenal dengan sebutan Sengkuni, berasal dari kata saka dan uni, yang bermakna “dari ucapan”. Artinya, ia menderita cacad buruk rupa adalah karena hasil ucapannya sendiri.
Peristiwa Perebutan Minyak Tala
Versi pewayangan selanjutnya mengisahkan, setelah Pandu meninggal dunia, pusakanya yang bernama Minyak Tala dititipkan kepada Drestarastra supaya kelak diserahkan kepada para Pandawa jika kelak mereka dewasa. Minyak Tala sendiri merupakan pusaka pemberian dewata sebagai hadiah karena Pandu pernah menumpas musuh kahyangan bernama Nagapaya.
Beberapa tahun kemudian, terjadi perebutan antara para Pandawa melawan para Kurawa yang ternyata juga menginginkan Minyak Tala. Dretarastra memutuskan untuk melemparkan minyak tersebut beserta wadahnya yang berupa cupu sejauh-jauhnya. Pandawa dan Kurawa segera berpencar untuk bersiap menangkapnya.
Namun, Sengkuni dengan licik lebih dahulu menyenggol tangan Drestarastra ketika hendak melemparkan benda tersebut. Akibatnya, sebagian Minyak Tala pun tumpah. Sengkuni segera membuka semua pakaiannya dan bergulingan di lantai untuk membasahi seluruh kulitnya dengan minyak tersebut.
Sementara itu, cupu beserta sisa Minyak Tala jatuh tercebur ke dalam sebuah sumur tua. Para Pandawa dan Kurawa tidak mampu mengambilnya. Tiba-tiba muncul seorang pendeta dekil bernama Durna yang berhasil mengambil cupu tersebut dengan mudah. Tertarik melihat kesaktiannya, para Kurawa dan Pandawa pun berguru kepada pendeta tersebut.
Sengkuni yang telah bermandikan Minyak Tala sejak saat itu mendapati seluruh kulitnya kebal terhadap segala jenis senjata. Meskipun ilmu bela dirinya rendah, namun tidak ada satu pun senjata yang mampu menembus kulitnya.
Usaha-Usaha Licik dan Intrik Jahat Sangkuni dan Kurawa untuk Menyingkirkan Pandawa
Baik dalam versi Mahabharata maupun versi pewayanagan, Sengkuni merupakan penasihat utama Duryudana, pemimpin para Kurawa. Berbagai jenis tipu muslihat dan kelicikan ia jalankan demi menyingkirkan para Pandawa.
Dalam Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa, Sangkuni menciptakan kebakaran di Gedung Jatugreha, tempat para Pandawa bermalam di dekat Hutan Waranawata. Namun para Pandawa dan ibu mereka, yaitu Kunti berhasil meloloskan diri dari kematian. Dalam pewayangan, peristiwa ini terkenal dengan nama Bale Sigala-Gala.
Usaha Sengkuni yang paling sukses adalah merebut Kerajaan Indraprastha dari tangan para Pandawa melalui permainan dadu melawan pihak Kurawa. Kisah ini terdapat dalam Mahabharata bagian kedua, atau Sabhaparwa.
Peristiwa tersebut disebabkan oleh rasa iri hati Duryudana atas keberhasilan para Pandawa membangun Indraprastha yang jauh lebih indah daripada Hastinapura. Atas saran Sengkuni, ia pun mengundang para Pandawa untuk bermain dadu di Hastinapura. Dalam permainan itu Sengkuni bertindak sebagai pelempar dadu Kurawa. Dengan menggunakan ilmu sihirnya, ia berhasil mengalahkan para Pandawa. Sedikit demi sedikit harta benda, istana Indraprastha, bahkan kemerdekaan para Pandawa dan istri mereka, Dewi Drupadi jatuh ke tangan Duryudana.
Mendengar Drupadi dipermalukan di depan umum, Dewi Gendari ibu para Kurawa muncul membatalkan semuanya. Para Pandawa pun pulang dan mendapatkan kemerdekaan mereka kembali. Karena kecewa, Duryudana mendesak ayahnya, Drestarastra, supaya mengizinkannya untuk menantang Pandawa sekali lagi. Drestarastra yang lemah tidak kuasa menolak keinginan anak yang sangat dimanjakannya itu.
Maka, permainan dadu yang kedua pun terjadi kembali. Untuk kedua kalinya, pihak Pandawa kalah di tangan Sengkuni. Sebagai hukuman, mereka harus menjalani hidup selama 12 tahun di dalam hutan, dan dilanjutkan dengan menyamar selama setahun di suatu negeri. Jika penyamaran mereka sampai terbongkar, mereka harus mengulangi kembali selama 12 tahun hidup di dalam hutan dan begitulah seterusnya.
Kematian Sangkuni di Kurukshetra oleh Bima versi Jawa.
Setelah masa hukuman selama 13 tahun berakhir, para Pandawa kembali untuk mengambil kembali negeri mereka dari tangan Kurawa. Namun pihak Kurawa menolak mengembalikan Kerajaan Indraprastha dengan alasan penyamaran para Pandawa di Kerajaan Wirata telah terbongkar. Berbagai usaha damai diperjuangkan pihak Pandawa namun semuanya mengalami kegagalan. Perang pun menjadi pilihan selanjutnya.
Pertempuran besar di Kurukshetra antara pihak Pandawa melawan Kurawa dengan sekutu masing-masing akhirnya meletus. Perang yang juga terkenal dengan sebutan Baratayuda ini berlangsung selama 18 hari, di mana Sengkuni tewas pada hari terakhir.
Menurut versi Mahabharata bagian kedelapan atau Salyaparwa, Sengkuni tewas di tangan Sadewa, yaitu Pandawa nomor lima. Pertempuran habis-habisan antara keduanya terjadi pada hari ke-18. Sengkuni mengerahkan ilmu sihirnya sehingga tercipta banjir besar yang menyapu daratan Kurukshetra, tempat perang berlangsung.
Dengan penuh perjuangan, Sadewa akhirnya berhasil memenggal kepala Sengkuni. Riwayat tokoh licik itu pun berakhir.
Kisah versi asli di atas sedikit berbeda dengan Kakawin Bharatayuddha yang ditulis pada zaman Kerajaan Kadiri tahun 1157. Menurut naskah berbahasa Jawa Kuna ini, Sengkuni bukan mati di tangan Seadewa, melainkan di tangan Bima, Pandawa nomor dua. Sengkuni dikisahkan mati remuk oleh pukulan gada Bima. Tidak hanya itu, Bima kemudian memotong-motong tubuh Sengkuni menjadi beberapa bagian.
Kisah tersebut dikembangkan lagi dalam pewayangan Jawa. Pada hari terakhir Baratayuda, Sengkuni bertempur melawan Bima. Kulitnya yang kebal karena pengaruh Minyak Tala bahkan sempat membuat Bima menjadi pusing karena tidak bisa mengalahkan Sengkuni.
Penasihat Pandawa selain Kresna, yaitu Semar muncul memberi tahu Bima bahwa kelemahan Sengkuni berada di bagian dubur, karena bagian tersebut dulunya pasti tidak terkena pengaruh Minyak Tala. Bima pun maju kembali. Sengkuni ditangkap dan disobek duburnya menggunakan Kuku Pancanaka yang tumbuh di ujung jari Bima.
Ilmu kebal Sengkuni pun musnah. Dengan beringas, Bima menyobek dan menguliti Sengkuni tanpa ampun. Meskipun demikian, Sengkuni hanya sekarat tetapi tidak mati.
Pada sore harinya Bima berhasil mengalahkan Duryudana, raja para Kurawa. Dalam keadaan sekarat, Duryudana menyatakan bahwa dirinya bersedia mati jika ditemani pasangan hidupnya, yaitu istrinya yang bernama Dewi Banowati. Atas nasihat Kresna, Bima pun mengambil Sengkuni yang masih sekarat untuk diserahkan kepada Duryudana. Duryudana yang sudah kehilangan penglihatannya akibat luka parah segera menggigit leher Sangkuni yang dikiranya Banowati.
Akibat gigitan itu, Sengkuni pun tewas seketika, begitu pula dengan Duryudana. Ini membuktikan bahwa pasangan sejati Duryudana sesungguhnya bukan istrinya, melainkan pamannya yaitu Sengkuni yang senantiasa berjuang dengan berbagai cara untuk membahagiakan para Korawa.
RINGKASAN SABHAPARWA, BUKU YG MEMUAT INTRIK-INTRIK JAHAT SANGKUNI DAN KURAWA DALAM RANGKA MEMBINASAKAN PANDHAWA LIMA.
Sabhaparwa adalah buku kedua Mahabharata. Buku ini menceritakan alasan mengapa sang Pandawa Lima ketika diasingkan dan harus masuk ke hutan serta tinggal di sana selama 12 tahun dan menyamar selama 1 tahun. Di dalam buku ini diceritakan bagaimana mereka berjudi dan kalah dari Duryodana.
Ringkasan isi Kitab Sabhaparwa
I. Niat licik Duryodana dan Sangkuni
Semenjak pulang dari Indraprastha, Duryodana sering termenung memikirkan usaha untuk mendapatkan kemegahan dan kemewahan yang ada di Indraprastha. Ia ingin sekali mendapatkan harta dan istana milik Pandawa. Namun ia bingung bagaimana cara mendapatkannya. Terlintas dalam benak Duryodana untuk menggempur Pandawa, namun dicegah oleh Sangkuni.
Sangkuni berkata, “Aku tahu Yudistira suka bermain dadu, namun ia tidak tahu cara bermain dadu dengan akal-akalan. Sementara aku adalah rajanya main dadu dengan akal-akalan. Untuk itu, undanglah dia, ajaklah main dadu. Nantinya, akulah yang bermain dadu atas nama anda. Dengan kelicikanku, tentu dia akan kalah bermain dadu denganku. Dengan demikian, anda akan dapat memiliki apa yang anda impikan”.
Duryodana tersenyum lega mendengar saran pamannya. Bersama Sangkuni, mereka mengajukan niat tersebut kepada Dretarastra untuk mengundang Pandawa main dadu. Duryodana juga menceritakan sikapnya yang iri dengan kemewahan Pandawa. Dretarastra ingin mempertimbangkan niat puteranya tersebut kepada Widura, namun karena mendapat hasutan dari Duryodana dan Sangkuni, maka Dretarastra menyetujuinya tanpa pertimbangan Widura.
II. Pandawa dan Korawa main dadu
Dropadi dihina di muka umum saat Pandawa dan kalah main dadu dengan Korawa
Dretarastra menyiapkan arena judi di Hastinapura, dan setelah selesai ia mengutus Widura untuk mengundang Pandawa bermain dadu di Hastinapura. Yudistira sebagai kakak para Pandawa, menyanggupi undangan tersebut. dengan disertai para saudaranya beserta istri dan pengawal, Yudistira berangkat menuju Hastinapura. Sesampainya di Hastinapura, rombongan mereka disambut dengan ramah oleh Duryodana. Mereka beristirahat di sana selama satu hari, kemudian menuju ke arena perjudian.
Yudistira berkata, “Kakanda Prabu, berjudi sebetulanya tidak baik. Bahkan menurut para orang bijak, berjudi sebaiknya dihindari karena sering terjadi tipu-menipu sesama lawan”. Setelah mendengar perkataan Yudistira, Sangkuni menjawab, “Ma’af paduka Prabu. Saya kira jika anda berjudi dengan Duryodana tidak ada jeleknya, sebab kalian masih bersaudara. Apabila paduka yang menang, maka kekayaan Duryodana tidaklah hilang sia-sia. Begitu pula jika Duryodana menang, maka kekayaan paduka tidaklah hilang sia-sia karena masih berada di tangan saudara. Untuk itu, apa jeleknya jika rencana ini kita jalankan?”
Yudistira yang senang main dadu akhirnya terkena rayuan Sangkuni. Maka permainan dadu pun dimulai. Yudistira heran kepada Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni, sebab dalam berjudi tidak lazim kalau diwakilkan. Sangkuni yang berlidah tajam, sekali lagi merayu Yudistira. Yudistira pun termakan rayuan Sangkuni.
Mula-mula Yudistira mempertaruhkan harta, namun ia kalah. Kemudian ia mempertaruhkan harta lagi, namun sekali lagi gagal. Begitu seterusnya sampai hartanya habis dipakai sebagai taruhan. Setelah hartanya habis dipakai taruhan, Yudistira mempertaruhkan prajuritnya, namun lagi-lagi ia gagal. Kemudian ia mempertaruhkan kerajaannya, namun ia kalah lagi sehingga kerajaannya lenyap ditelan dadu. Setelah tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, Yudistira mempertaruhkan adik-adiknya. Sangkuni kaget, namun ia juga sebenarnya senang. Berturut-turut Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima dipertaruhkan, namun mereka semua akhirnya menjadi milik Duryodana karena Yudistira kalah main dadu.
III. Dropadi dihina di muka umum 
Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi, namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna
Harta, istana, kerajaan, prajurit, dan saudara Yudistira akhirnya menjadi milik Duryodana. Yudistira yang tidak memiliki apa-apa lagi, nekat mempertaruhkan dirinya sendiri. Sekali lagi ia kalah sehingga dirinya harus menjadi milik Duryodana. Sangkuni yang berlidah tajam membujuk Yudistira untuk mempertaruhkan Dropadi. Karena termakan rayuan Sangkuni, Yudistira mempertaruhkan istrinya, yaitu Dewi Dropadi. Banyak yang tidak setuju dengan tindakan Yudistira, namun mereka semua membisu karena hak ada pada Yudistira.
Duryodana mengutus Widura untuk menjemput Dropadi, namun Widura menolak tindakan Duryodana yang licik tersebut. karena Widura menolak, Duryodana mengutus para pengawalnya untuk menjemput Dropadi. Namun setelah para pengawalnya tiba di tempat peristirahatan Dropadi, Dropadi menolak untuk datang ke arena judi. Setelah gagal, Duryodana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Dropadi menangis dan menjerit-jerit karena rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul.
Dengan menangis terisak-isak, Dropadi berkata, “Sungguh saya tidak mengira kalau di Hastina kini telah kehilangan banyak orang bijak. Buktinya, di antara sekian banyak orang, tidak ada seorang pun yang melarang tindakan Dursasana yang asusila tersebut, ataukah, memang semua orang di Hastina kini telah seperti Dursasana?”, ujar Dropadi kepada semua orang yang hadir di balairung. Para orangtua yang mendengar perkataan Dropadi tersebut tersayat hatinya, karena tersinggung dan malu.
Wikarna, salah satu Korawa yang masih memiliki belas kasihan kepada Dropadi, berkata, “Tuan-Tuan sekalian yang saya hormati! Karena di antara Tuan-Tuan tidak ada yang menanggapi peristiwa ini, maka perkenankanlah saya mengutarakan isi hati saya. Pertama, saya tahu bahwa Prabu Yudistira kalah bermain dadu karena terkena tipu muslihat paman Sangkuni! Kedua, karena Prabu Yudistira kalah memperteruhkan Dewi Dropadi, maka ia telah kehilangan kebebasannya. Maka dari itu, taruhan Sang Prabu yang berupa Dewi Dropadi tidak sah!”
Para hadirin yang mendengar perkataan Wikarna merasa lega hatinya. Namun, Karna tidak setuju dengan Wikarna. Karna berkata, “Hei Wikarna! Sungguh keterlaluan kau ini. Di ruangan ini banyak orang-orang yang lebih tua daripada kau! Baliau semuanya tentu tidak lebih bodoh daripada kau! Jika memang tidak sah, tentu mereka melarang. Mengapa kau berani memberi pelajaran kepada beliau semua? Lagipula, mungkin memang nasib Dropadi seperti ini karena kutukan Dewa. cobalah bayangkan, pernahkah kau melihat wanita bersuami sampai lima orang?”
Mendengar perkataan Karna, Wikarna diam dan membisu. Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh adiknya beserta istrinya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun hanya Dropadi yang menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi. Dropadi berdo’a kepada para Dewa agar dirinya diselamatkan. Sri Kresna mendengar do’a Dropadi. Secepatnya ia menolong Dropadi secara gaib. Sri Kresna mengulur kain yang dikenakan Dropadi, sementara Dursasana yang tidak mengetahuinya menarik kain yang dikenakan Dropadi. Hal tersebut menyebabkan usaha Dursasana menelanjangi Dropadi tidak berhasil. Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha.
Pandawa dibuang ke tengah hutan Melihat perbuatan Dursasana yang asusila, Bima bersumpah kelak dalam Bharatayuddha ia akan merobek dada Dursasana dan meminum darahnya. Setelah bersumpah, terdengarlah lolongan anjing dan serigala, tanda bahwa malapetaka akan terjadi. Dretarastra mengetahui firasat buruk yang akan menimpa keturunannya, maka ia segera mengambil kebijaksanaan. Ia memanggil Pandawa beserta Dropadi.
Dretarastra berkata, “O Yudistira, engkau tidak bersalah. Karena itu, segala sesuatu yang menjadi milikmu, kini kukembalikan lagi kepadamu. Ma’afkanlah saudara-saudaramu yang telah berkelakuan gegabah. Sekarang, pulanglah ke Indraprastha”.
Setelah mendapat pengampunan dari Dretarastra, Pandawa beserta istrinya mohon diri. Duryodana kecewa, ia menyalahkan perbuatan ayahnya yang mengembalikan harta Yudistira. Dengan berbagai dalih, Duryodana menghasut ayahnya. Karena Dretarastra berhati lemah, maka dengan mudah sekali ia dihasut, maka sekali lagi ia mengizinkan rencana jahat anaknya. Duryodana menyuruh utusan agar memanggil kembali Pandawa ke istana untuk bermain dadu. Kali ini, taruhannya adalah siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, dan setelah masa pengasingan berakhir (yaitu pada tahun ke-13), yang kalah harus menyamar selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, barulah boleh kembali ke istana.
Sebagai kaum ksatria, Pandawa tidak menolak undangan Duryodana untuk yang kedua kalinya tersebut. Sekali lagi, Pandawa kalah. Sesuai dengan perjanjian yang sah, maka Pandawa beserta istrinya mengasingkan diri ke hutan, hidup dalam masa pembuangan selama 12 tahun. Setelah itu menyamar selama satu tahun. Setelah masa penyamaran, maka para Pandawa kembali lagi ke istana untuk memperoleh kerajaannya.
Sabhaparwa di Indonesia Kitab Sabhaparwa juga dikenal dalam khazanah Sastra Jawa Kuna.

Kamis, 03 Juli 2014

Animandaya

ANIMANDAYA BEGAWAN, terkadang disebut Begawan Nimandaya atau Nimandawya, adalah pertapa Sakti yang mengutuk Batara Darma sehingga dewa kejujuran, keadilan, dan kebenaran itu harus menjalani hidup sebagai manusia biasa yang dilahirkan oleh wanita berdarah sudra.

Pada suatu saat ketika:
Begawan Animandaya sedang bertapa membisu, seorang pencuri masuk ke pertapaannya. Pencuri itu menyembunyikan barang curiannya di salah satu sudut pertapaan, kemudian ia bersembunyi. Beberapa saat kemudian datanglah para punggawa kerajaan yang mengejar pencuri itu. Mereka menanyakan kepada sang Pertapa, di manakah pencuri itu bersembunyi. Namun karena selama bertapa mbisu tidak boleh berbicara, Begawan Animandaya tidak menjawab sepatah kata pun. la tetap saja meneruskan tapanya.
Karena tidak mendapat jawaban, para prajurit lalu masuk dan menggeledah pertapaan. Tidak lama kemudian mereka menemukan barang curian itu. Karena adanya barang bukti itu Begawan Animandaya ditangkap dan dibawa ke hadapan raja.

Sang Raja menanyakan soal barang curian yang ditemukan di pertapaan itu kepada Begawan Animandaya, tetapi pertapa itu tetap saja membisu. Akibatnya, sang Raja marah dan menjatuhkan hukuman yang amat berat kepada Begawan Animandaya. Tubuh pertapa itu ditusuk dengan tombak di bagian anusnya, tembus hingga ke ubun-ubun. Namun karena kesaktian yang dimilikinya, Begawan Animandaya tidak mati. ia tetap hidup dan sehat segar, walaupun sebatang tombak membuat tubuhnya seperti sate. Melihat kesaktian sang Pertapa yang luar biasa ini sang Raja menyesal dan minta maaf atas kecerobohannya menjatuhkan hukuman. Sang Pertapa memaafkannya.

Bertahun-tahun kemudian Begawan Animandaya meninggal karena usia tua. Di kahyangan suksma sang Pertapa datang menemui Batara Darma dan menanyakan tentang pengalamannya ketika hidup di dunia. Mengapa ketika masih hidup dulu ia harus menerima nasib buruk dan mengalami penyiksaan keji padahal selalu berbuat kebaikan. Batara Darma menjawab, memang seingat Animandaya ia selalu berbuat kebaikan dan tidak pernah berbuat keji. Namun Batara Darma mengingatkan, ketika masih kecil Animandaya pernah menyiksa seekor belalang dengan menusuk tubuh binatang itu hidup-hidup dengan sebatang lidi. Menurut Dewa Keadilan, apa yang pernah dialami oleh Begawan Animandaya semasa hidupnya sudah sesuai dengan karmanya.

Jawaban Batara Darma ini tidak memuaskan Begawan Animandaya. Setahu pertapa itu, aturan agama apa pun tidak menyebutkan bahwa perbuatan anak-anak tidak dianggap sebagai suatu dosa, apa lagi bilamnna si Anak yang berbuat itu belum paham mengenai soal salah dan benar. Mendengar bantahan Animandaya itu, Batara Darma terdiam. Ia tidak dapat menjawab.

Karena tidak puas, Animandaya lalu mengucapkan kutukannya, Batara Darma harus menjalani hidup di dunia sebagai manusia biasa, dan dilahirkan oleh seorang wanita berdarah sudra. Kutukan itu ternyata terbukti, Batara Darma terpaksa turun ke dunia dan menitis pada Yama Widura, putra Abiyasa dari Dayang Drati, seorang pelayan istana yang berdarah sudra.

Kangsa Lahir

Raja Darmaji berusaha mencari mahkota Bathara Rama, lalu pergi ke kerajaan Dwarawati. Ketika raja Darmaji datang, raja Dwarawati, Ditya Kresna sedang dihadap oleh Patih Muksamuka, Murkabumi, Muksala, Karungkala dan Gelapsara. Ditya Kresna menyapa dan bertanya maksud kedatangan Darmaji. Raja Darmaji meminta mahkota Bathara Rama yang dipakai Ditya Kresna. Namun Ditya Kresna tidak mau memberikannya, maka terjadilah perkelahian. Raja Darmaji mati karena digigit, dan putus perutnya.

Angsawati, isteri pertama Basudewa, cemburu akibat kehadiran Ugraini dan Badraini. Ia berusaha membunuh mereka namun gagal. Pada suatu malam Angsawati bertemu dengan raja Gorawangsa yang menyamar sebagai raja Basudewa. Angsawati tidak mengira bahwa yang dijumpainya adalah Basudewa palsu. Namun Angsawati menyambut dengan senang hati. Pertemuan Angsawati dengan Basudewa palsu berkepanjangan, akhirnya Angsawati hamil. Raja Basudewa sungguhan tidak mengetahui hal itu. Ia tidak mengerti bahwa isterinya hamil karena Gorawangsa. Pada bulan ketujuh, raja hendak mengadakan selamatan. Sang raja dan para pegawai istana hendak berburu ke hutan. Basusena bertugas menunggu kerajaan.

Pada suatu malam Basusena berkeliling di istana. Waktu tiba di tempat tinggal Angsawati ia mendengar suara tamu pria di kamar. Setelah dilihat, nampak bahwa pria dalam kamar itu adalah Basudewa. Setelah Basusena lama memandang, Basudewa nampak seperti raksasa. Basudewa palsu diserang, terjadilah perkelahian. Basusena mengenakan senjata, lalu Basudewa palsu berubah menjadi Gorawangsa. Raksasa Gorawangsa lari kembali ke negara Jadingkik.

Basusena kembali ke hutan, melapor peristiwa yang terjadi di istana. Dikatakannya, Angsawati berbuat serong dengan raksasa. Raja Basudewa marah, Basusena disuruh membawa Angsawati ke hutan, untuk kemudian membunuh dan mengambil hatinya. Bila hati Angsawati berbau busuk berarti bayi dalam kandungan bukan anaknya, sedangkan bila berbau harum berarti bayi itu anak Basudewa.

Basusena menjalankan perintah raja Basudewa. Angsawati dibawa ke tengah hutan dan dibunuhnya. Hatinya diambil, dan setelah dicium ternyata berbau busuk. Basusena membawa hati itu kepada sang raja. Karena hati tersebut berbau busuk, raja percaya bahwa bayi dalam kandungan bukanlah anaknya.

Bathara Wisnu, Dewi Sri dan Bathara Basuki mengelilingi dunia guna mencari titisan raja Watugunung. Diketahuinya, raja Gorawangsa adalah titisan raja Watugunung. Maka Bathara Wisnu meminta Bathara Basuki agar menitis kepada raja Basudewa, untuk mengalahkan raja Gorawangsa. Bathara Wisnu kembali ke kahyangan. Kepada Bathara Guru, ia minta ijin untuk menitis ke dunia, untuk membunuh titisan raja Watugunung. Bathara Guru memberi ijin, dan memberi tugas kepada Bathara Wisnu untuk mengadu ayah melawan anak, mengadu sesama saudara. Namun Bathara Wisnu tidak boleh ikut berperang, hanya diperkenankan terlibat dalam pembicaraan.

Bathara Wisnu menerima tugas tersebut tetapi mengajukan permintaan. Permintaan itu ialah bagi mereka yang bermusuhan supaya diperkenankan naik ke surga, supaya dirinya diperkenankan duduk di dua belah pihak, dan supaya disertai Bathara Basuki untuk bersama menitis ke dunia. Bathara Guru mengabulkan permintaan tersebut, lalu menyuruh Bathara Narada agar keberanian Wisnu dijelmakan kepada Arjuna. Sedang Bathara Wisnu diminta menjelma menjadi putra Basudewa.

Bathara Wisnu turun ke dunia bersama Dewi Sri. Senjata Cakranya dititipkan kepada awan yang dijaga dua dewa. Bathara Wisnu berpesan, bahwa senjata itu hanya boleh diambil Narayana. Selain Nayarana, tidak seorang pun berhak mengambilnya.

Raja Basudewa telah mempunyai putra. Ugraini telah melahirkan anak laki-laki berkulit putih, titisan Bathara Basuki. Anak itu diberi nama Kakrasana. Bathara Wisnu dan Dewi Sri merasuk ke jiwa raja Basudewa. Saat mereka merasuk, Basudewa bermimpi melihat matahari dan bulan. Matahari dan bulan itu kemudian bersatu.

Anak Angsawati yang dibawa raja Gorawangsa diberi nama Kangsa. Setelah dewasa Kangsa menanyakan, siapa ibunya. Gorawangsa menjelaskan bahwa ibunya bernama Angsawati, isteri Basudewa raja Mandura. Tetapi ibunya telah meninggal dunia, dibunuh oleh Basusena atas perintah raja Basudewa. Mendengar penjelasan Gorawangsa itu Kangsa ingin membalas kematian ibunya. Gorawangsa berpesan agar Kangsa menemui pamannya yang bernama Arya Prabu, adik Angsawati. Kangsa meninggalkan Jadingkik menuju ke Mandura.

Di Mandura Kangsa menemui Arya Prabu, lalu menyampaikan maksud kedatangannya. Arya Prabu berjanji akan membantunya. Mereka berdua menghadap raja Basudewa yang sedang dihadap Basusena dan warga Mandura. Kangsa menyampaikan maksud kedatangannya, yakni ia akan membalas kematian ibunya. Terjadilah perkelahian antara Kangsa dengan Basusena. Basusena kalah, lalu melarikan diri. Raja Basudewa dimasukkan ke dalam penjara. Gorawangsa datang bersama pasukan raksasa. Kangsa lalu menduduki tahta kerajaan Mandura.

Basudewa berhasil melarikan diri bersama dengan Badraini yang sedang hamil dan Kakrasana yang masih kanak-kanak. Perjalanan mereka terhalang oleh Bengawan Erdura. Bathara Sakra datang menolong dan menyeberangkan mereka. Basudewa diminta mengungsi ke kademangan Widarakandang. Sang Bathara memberi tahu bahwa kelak Badraini akan melahirkan dua anak. Anak-anak itu agar diberi nama Narayana dan Endhang Panangling. Setelah berpesan, Bathara Sakra menghilang, kembali ke Kahyangan. Kedatangan Basudewa, Badraini dan Kakrasana di Widarakandhang diterima oleh demang Antagopa dan isterinya. Di Widarakandhang Badraini melahirkan seorang bayi laki-laki dan dua orang perempuan, yang berkulit hitam. Sesuai pesan Bathara Sakra, Basudewa memberi nama kedua anaknya, Nayarana dan Endhang Panangling. Sedangkan Badraini memberi nama yang seorang lagi, Sumbadra. Tiga anak itu diasuh oleh Ki Antagopa dan Ni Sagopi.

Basudewa

  
PRABU BASUDEWA adalah putra sulung Prabu Basukunti raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Dayita, putri Prabu Kunti, raja Boja.Basudewa mempunyai tiga orang saudara kandung masing-masing bernama: Dewi Prita/Dewi Kunti, Arya Prabu Rukma dan Arya Ugrasena.

Prabu Basudewa mempunyai tiga orang isteri/permaisuri dan 4 (empat) orang putra.Dengan permaisuri Dewi Mahira/Maerah (Jawa) ia berputra Kangsa. Kangsa sebenaranya putra Prabu Gorawangsa, raja raksasa negara Gowabarong yang dengan beralih rupa menjadi Prabu Basudewa palsu dan berhasil mengadakan hubungan asmara dengan Dewi Mahira.

Dengan permaisuri Dewi Mahindra/Maerah (Jawa), Prabu Basudewa memperoleh dua orang putra bernama; Kakrasana dan Narayana. Sedangkan dengan permaisuri Dewi Badrahini berputra Dewi Wara Sumbadra/Dewi Lara Ireng. 

Secara tidak resmi, Prabu Basudewa juga mengawini Ken Sagupi, swaraswati Keraton Mandura, dan memperoleh seorang putra bernama Arya Udawa.

Prabu Basudewa sangat sayang kepada keluarganya. Basudewa pandai olah keprajuritan dan mahir memainkan senjata panah dan lembing. Setelah usia lanjut, ia menyerahkan Kerajaan Mandura kepada putranya, Kakrasana, dan hidup sebagai pendeta di Pertapaan Randugumbala. Prabu Basudewa meninggal saat negara Mandura digempur Prabu Sitija/ Bomanarakasura raja Negara Surateleng.

======================

BASUDEWA, PRABU, adalah raja Mandura. Kerajaan ini sebelumnya bernama Boja. Walaupun sebenarnya ia anak kedua, Basudewa mewarisi tahta kerajaan itu dari ayahnya, yaitu Prabu Basukunti atau Kuntiboja. Hal itu disebabkan karena anak sulung Prabu Basukunti adalah Dewi Sruta, seorang putri. Ibu Basudewa bernama Dewi Bandondari. Adik-adik Basudewa ada tiga orang. Mereka adalah Haryaprabu Rukma, Ugrasena, dan Dewi Prita, alias Kunti Nalibrata.

Istri Prabu Basudewa ada tiga orang. Istri pertamanya bernama Dewi Maerah, lalu yang kedua Dewi Mahindra, dan yang ketiga Dewi Badraini. Dengan Dewi Mahindra, Basudewa mendapat anak kembar, Kakarasana dan Narayana. Kakrasana kelak menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja Mandura dengan gelar Prabu Baladewa, sedangkan Narayana menjadi raja di Dwarawati dengan gelar Prabu Kresna. Dari Dewi Badraini ia memperoleh anak perempuan, diberi nama Bratajaya alias Wara Subadra. Kelak, Dewi Subadra menjadi salah seorang istri Arjuna. Bahkan menjadi istri utama.

Dewi Maerah, istri pertama, karena terlibat skandal yang memalukan dengan Prabu Gorawangsa, raja raksasa dari Kerajaan Guwabarong. Walaupun perselingkuhan itu bukan semata-mata kesalahan Dewi Maerah, demi martabat raja dan kerajaan Mandura, Dewi Maerah terpaksa dihukum mati. Namun adik Basudewa, yakni Haryaprabu Rukma yang ditugasi membunuh Dewi Maerah tidak sampai hati melaksanakan hukuman mati itu, setelah tabu bahwa Dewi Maerah mengandung. Akhirnya Dewi Maerah hanya ditinggalkan sendiri di tengah hutan. Wanita malang itu ditolong oleh seorang pertapa berujud raksasa bernama Resi Anggawangsa. Kelak Dewi Maerah melahirkan seorang bayi berwajah raksasa dan diberi nama Kangsa. Sesudah melahirkan anaknya, Dewi Maerah meninggal dunia. Bayi haram itu, dirawat, dipelihara, dan dididik dengan penuh kasih sayang oleh Resi Anggawangsa, seorang pendeta berujud raksasa. Setelah dewasa datang ke Mandura dan minta diakui sebagai anak Basudewa. Tuntutan si Anak Haram itu dikabulkan. Raja Mandura itu bahkan mengangkatnya menjadi raja muda di Sengkapura, yang masih termasuk wilayah Mandura.

Tetapi kebaikan hati Basudewa ternyata berbuah pahit. Pada suatu saat Kangsa datang ke Mandura menuntut agar diakui sebagai putra mahkota Kerajaan Mandura. Ia nenantang Basudewa untuk mengadu jago dengan kerajaan sebagai taruhannya. Usaha Kangsa untuk merebut tahta Mandura akhirnya digagalkan oleh Kakrasana dan Narayana dengan bantuan Bima serta Arjuna. Peristiwa percobaan kudeta itu dalam pewayangan dikisahkan dalam lakon 'Kangsa Adu Jago'. Namun selain yang empat orang itu Prabu Basudewa sebenarnya mempunyai anak gelap yang lahir dari seorang wanita penghibur bernama Ken Sayuda (ada yang menyebut Ken Yasuda). Anak gelapnya ini bernarna Udawa, yang kelak menjadi patih di Kerajaan Dwarawati, ketika Narayana menjadi raja di negeri itu...

Dalam Kitab Hariwangsa yang merupakan lampiran Kitab Mahabarata, Basudewa bukan raja Mandura. Yang menjadi raja negeri itu adalah Ugrasena, yang mempunyai anak bernama Kangsa. Setelah dewasa Kangsa mengambil alih takhta kerajaan secara paksa, dan Ugrasena dipenjarakan. Sedangkan Basudewa adalah suami Dewi Dewaki, adik Kangsa. Dengan demikian Basudewa, menurut Mahabarata, adalah ipar Kangsa. Istri Basudewa yang lain bernama Dewi Rohini, yang tidak ikut dipenjara. Jadi, menurut Mahabarata Basudewa tidak pernah menjadi raja. Menurut Mahabarata Pula, dari Dewi Dewaki, Basudewa mendapat anak Krishna (Kresna), Sedangkan dari Rohini anaknya dinamakan Balarama (Baladewa).

Sementara Mahabarata versi yang lain menyebutkan, baik Balarama maupun Krishna keduanya adalah anak Basudewa dari Dewi Dewaki. Kedua anaknya itu lahir ketika Basudewa dan Dewaki berada dalam penjara, sebagai korban kezaliman Kangsa. Balarama lahir sebagai anak ke enam, diselamatkan oleh Dewi Nendra, seorang bidadari yang menguasai rasa kantuk, dan dibawa keluar penjara lalu diserahkan pada Dewi Rohini, yang tinggal di luar penjara. Dewi Nendra meminta agar Dewi Rohini mengakui Balarama sebagai anaknya, demi keselamatan anak itu. Sedangkan Krishna begitu lahir diselundupkan ke luar penjara dan ditukar dengan bayi perempuan anak suami istri seorang penggembala bernama Gopa dan Nanda.

Dalam pewayangan Prabu Basudewa menampilkan karakter raja yang pernah membuat keputusan yang tidak bijaksana, dengan menjatuhkan hukuman mati bagi Dewi Maerah. Beberapa waktu kemudian raja itu sadar bahwa ia membuat kekeliruan, menjatuhkan hukuman yang terlalu berat. Prabu Basudewa mencoba menebus kekeliruannya dengan mengakui Kangsa sebagai anak dan bahkan kemudian memberikan kekuasaan atas wilayah Sengkapura, sebagai Raja Muda. Keputusan yang kurang dipikir panjang itu, dikemudian hari ternyata justru memperburuk keadaan. Kangsa yang diperlakukan dengan baik oleh Prabu Basudewa, meskipun ia hanya anak haram, ternyata malahan mengincar singgasana Kerajaan Mandura. Bahkah ketiga putra-putrinya terancam keselamatannya.

Untuk menghindarkan dari kemungkinan buruk yang mungkin ditimbulkan oleh ulah Kangsa, Prabu Basudewa secara diam-diam menitipkan Kakrasana, Narayana, dan Bratajaya pada Antagopa. Rasa aman bagi Prabu Basudewa dan terjaminnya takhta Mandura baru datang sesudah Kangsa tewas.

Kamis, 19 Juni 2014

GONDAMANA SAYEMBARA

Dikisahkan putri sulung Drupada yang bernama Drupadi dilamar banyak orang. Gandamana mengumumkan barangsiapa mampu mengalahkan dirinya berhak memperistri keponakannya tersebut. Tujuan Gandamana menggelar sayembara ialah untuk menemukan calon suami yang paling tepat untuk Drupadi.
Hampir semua penantang tidak ada yang mampu mengalahkan Gandamana, termasuk para Korawa yang juga ikut mendaftar. Akhirnya muncul seorang pendeta muda gagah mengajukan diri. Gandamana dengan sadar mengetahui kalau lawannya kali ini adalah Bimasena putra Pandu.

Senin, 02 Juni 2014

Brajadhenta Mbalela (Gathutkaca Winisuda)

Malam yang mendung itu , Prabu Duryudana bersama gurunya Begawan durna dan senopatinya sengkuni, tengah menerima tamu Patih Brajadenta dari Ksatrian Glagahtinunu.

Kedatangan Brajadenta adalah untuk meminta nasihat kepada Raja Astina bagaimana dia harusnya bersikap, karena sebentar lagi akan dinobatkan Gatotkaca, putra Bima dan Arimbi, menjadi Raja Pringgondani. Sebenarnya dia tidak perlu begitu, karena dulu ketika kakaknya Prabu Arimba ( penguasa pringgondani sebelumnya), dikalahkan oleh Bima, kemudian Bima menikahi Arimbi yang merupakan kakaknya juga, Brajadenta beserta adik-adiknya (Brajamusti, Brajalamatan, Brajawikalpa dan Kalabendana ), bersumpah untuk menyerahkan Kerajaan Pringgondani kepada kakak perempuannya itu,..”Mongso borongo, aku tak manut sopo sing dadi penguasa pringgondani mengkone”

Begawan Durna dan Sengkuni kemudian menghasut hati dan pikiran Brajadenta, bahwa dialah sebenarnya yang berhak memegang tampuk kerajaan Pringgondani, bukannya Gatotkaca yang hanya anak dari kakak perempuannya arimbi. Begawan Durna menceritakan bagaimana perang dengan ayah pandawa (Prabu Pandu), menewaskan Prabu Tremboko ayah dari Brajadenta. Kemudian ditambah cerita patih Sengkuni tentang Werkudoro yang membunuh kakak mereka tertua Prabu Arimba. dan memanas manasi bahwa Arimbi malah membelot menikah dengan Werkudoro. karena dipanasi Brajadenta tambah marah dan bersumpah merebut tahta Pringgondani.

Niat Brajadenta untuk merebut tahta Pringgondani ditentang adik-adiknya, terutama Brajamusti dan Kala Bendana. Karena mereka telah terikat oleh sumpah, maka mereka harus netepi kautamaning ksatriya. “Kakang brajadenta, rupake wis buto elek, di sio sio lan dielek elek manungso, nanging aku emoh nek kelakuan lan solah tingkahku yo elek, kakang. Aku netep kautamaning ksatriya, kakang,.!! Aku emoh melu tumindakmu…!!!
Iyo kakang, aku wis suwe awor kowe, weruh kelakuanmu lan tumindakmu kang netepi kautamaning ksatria, lan ngerti sopo sakjatine kowe kakang, la kok awor karo Durna lan Sengkuni sedino wae kowe iso malih arep tumindak netepi angkara murko, kakang..!!! Kata adiknya kala Bendana
Brajadenta marah, ditundung pergi lah kedua adiknya dari hadapannya, bahkan dia berkata “Yo wis, nek ngono sesuk menowo ono perang gedhe antarane aku lawan kowe, ojo wigih-wigih karo aku, ojo mbok anggep aku kakangmu, tapi anggepen aku mungsuhmu, dadi parang muko”




Dan akhirnya Brajadenta pun mulai memberontak bersama pasukannya dia mulai menuju Pringgondani merebut tahta kerajaan, dibantu pasukan dari Astina.

Di kerajaan Pringgondani sedang terjadi Pisowanan Agung, dipimpin Kresna, Raja Dwarawati, dihadiri para pendawa dan raja raja sekutunya. Hari itu adalah hari pengukuhan Gatotkaca sebagai raja Pringgondani, yang kemudian mendapat gelar Prabu Anom Gatotkaca. Sebelum pengukuhan Kresna sudah bertanya, apakah semua sesuatunya sudah sesuai dengan yang diharapkan, dan tidak terjadi silang sengketa atas tahta ini, sekarang dan nanti di kemudian hari?? Bagaimana dengan paman paman gatotkaca nantinya apa mereka rela??? kemudian dijawab Arimbi, semua sudah setuju…!!!

Setelah pengukuhan, datanglah Brajamusti dan Kala Bendana dengan tergopoh gopoh..!!! “ketiwasan kakang mbok arimbi, kakang Brajadento ngamuk punggung arep ngrebut tahta pringgondani, wis tekan alun aluning pringgondani. Dengan pelan kresna berkata “Nuwun sewu para sesepuh, sumawana adhi-adhi kula Pandhawa, mugi sampun ngantos sami tumut-tumut sabiyantu prakawis ingkang gawat kaliwat punika. Awit sadaya ingkang badhe kedadosan mangke naming prakawisipun kulawarga Pringgandani. Kula lan panjenengan sami punika tamu”. Mendengar perkataan Kresna , Arimbi duka yayah sinipi (marah) dan segera keluar paseban menuju alun alun untuk menghadang langkah Brajadenta
Setelah bertemu Brajadenta dengan marah Arimbi berkata “E, e, teka becik banget tumindakmu kowe Brajadenta, olehmu ngatonake regeding bebuden lah watakmu. Kowe gelem nyengkuyung pulunanmu Gathutkaca apa ora? Yen ora klakon dakjuwing-juwing kuwandamu dina iki!”

Aku njaluk meneh tahta Pringgondani. Ora perduli karo sumpah,..Yen kakang mbok ngalangi anteping karepku , aku ora wedi lan ora nyesel dadi sebab tewas lan matining kakang mbok.!!!.hayoh kene..!!!

Dan perang hebat pun terjadi antara keduanya. Para prajurit bubar melihat kedua trah Pringgondani bertarung. Kresna pun bertanya kepada Bima.

Werkudara, sapa sing padha tukaran kae Werkudara?” “Arimbi karo Braja Denta,” Jawab Bima.



“Ngreti nek bojone gelut karo adhine mbok dipisah! Mengko yen Arimbi mati piye?”

“Mati ya dipendhem!” Wis mongso bodho wo iki perkorone wong Pringgondani, ra rep melu-melu, aku arep turu…!!!

“Wee, lha dalah, yen Arimbi mati bojone isih loro. Saiki Gathutkaca, ngger ibumu dipilara pamanmu, lha kok kowe meneng wae?”

 “Kanjeng Rama kemawon mboten wantun ngaten kok, Wa Prabu!”

 “Hla, piye, sing direwarigi nganti kaya ngene iku kowe jare. Lanangmu endi Gathutkaca?”

Mendengar keluhan Kresna, Gatotkaca pun dengan terpaksa menghadang langkah pamannya Brajadenta, sebelum terlaksana langkah Gatotkaca dihadang oleh Brajamusti.

“Ngger anakmas, kowe ra bakalan menang lawan kakang Brajadenta, isomu menang kudu ngorbanake salah sawijining pilar kerajaan lan mung aku sing weruh pengapesane kakang Brajadenta, mugo soko iku aku bakal manjining ono epek epek mu kang tengen . Namung kowe ojo kaget lamun sakmengko ono kedadeyan kang nganeh-nganehi. Mendengar itu Gatotkaca mengiyakan karena ia menduga yang dimaksud pilar kerajaan adalah benar benar pilar bangunan kraton

Akhirnya berperanglah Gatotkaca dan Brajadenta pamannya sendiri, perkelahian berlangsung seru dan hebat, Suatu ketika Brajadenta leno, dan terkenalah pukulan tepat dikepalanya oleh tangan kanan Gatotkaca yang telah disusupi sukma Brajamusti
Bersamaan itu Brajadenta tewas, kemudian secara tiba-tiba sukma ditangan kanan Gatotkaca keluar dan mengerang kesakitan. Tanpa diduga tanpa dinyana Brajadenta dan Brajamusti kedua pamannya meninggal bersamaan, mati sampyuh…!!!

Gatotkaca menangisi mayat kedua pamanya. Lama kelamaan jasad kedua pamannya itu mengecil lalu masuk ke dalam tangan kanan dan kiri gatotkaca menjadi sebuah keilmuan. dan keilmuan itu dikenal dengan keilmuan Brajadenta dan Brajamusti. Pelan-pelan terdengar suara sukma sang paman Brajadenta.

“Ngger anakmas, mangertio sakjatine aku ora benci lan sengit marang sliramu, aku nguji kaprawiranmu lan kasektenmu kang bakal mimpin Pringgondani sakmengkone, lan iki sakjatine wis dadi pepesthen uripku lan adhi Brajamusti. Aku lan adihi bakal nglindungi awakmu sakwayah wayah mbok butuhke aku ono ning kiwo lan tengen tanganmu dadi Ajian Brajedenta lan Ajian Brajamusti.

Sementara itu sisa pasukan pemberontak yang didukung astina dapat dipukul mundur. Dan Brajalamadan akhirnya diangkat menjadi patih baru bergelar Patih Prabakiswa.


Intisarinya:
-Sopo salah, seleh. Pandito durno menghasut orang menuju jalan kejahatan, dan kejahatan tidak akan menang melawan kebaikan dan kebenaran
- Teguh janji apapun yang terjadi: Brajamusti dan Kala Bendana menepati sumpahnya mengabdi kepada gatotkaca selaku raja pringgondani, meski harus berhadapan dengan kakaknya sendiri
-Menjadi pimpinan harus berani, melindungi rakyat, mengambil resiko dan mempertanggung jawabkannya: Gatotkaca berani melawan pamannya sendiri karena dia raja yang harus mengayomi rakyatnya dari tindak angkara murka, meski harus membunuh pamannya sendiri

Tancep kayon

Rahwana lair

Jambumangli merasa sangat kecewa dan marah setelah mendengar bahwa sayembara telah ditutup. Ia segera menghadap Prabu Sumali untuk mempertanyakan alasan ditutupnya sayembara. Dengan berat hati Prabu Sumali menceritakan semua peristiwa yang terjadi antara resi Wisrawa dan dewi Sukesi di dalam pesangrahan, dan kini resi Wisrawa telah diangkat sebagai suami dewi Sukesi secara sah. Mendengar penjelasan Prabu Sumali, Jambumangli marah. Ia mengamuk sambil berteriak-teriak mengancam Wisrawa. Ia bergegas mendatangi pesangrahan tempat tinggal dewi Sukesi dan resi Wisrawa. Tidak ada yang bisa menghalangi Jambumangli. Bukan karena Jambumangli merupakan salah satu keluarga Prabu Sumali, tetapi juga Jambumangli adalah senopati perang Alengka yang sangat sakti mandraguna. Tidak ada seorang pun di negara Alengka yang mampu menandingi kesaktiannya, bahkan konon kesaktian dan kekejaman Jambumangli telah tersohor hingga ke mancanegara. Banyak raja-raja dan kesatria yang binasa ditangan Jambumangli saat mengikuti sayembara perebutan dewi Sukesi.
Dihadapan Wisrawa, Jambumangli berkoar. Hatinya yang dibakar cemburu mencaci maki Wisrawa. Jambumangli menuding Wisrawa telah berbuat licik dan pengecut.
" Dulu aku menghormatimu sebagai seorang resi yang mengemban kebenaran dan kesucian, tapi kini semua penghormatan itu telah pupus sirna, runtuh bersama kelicikanmu yang mirip sekali dengan srigala. Apakah kau tidak malu Wisrawa ? Kau telah merenggut kesucian cinta putramu sendiri!"
Di hadapan keluarga dan pembesar Alengka, Jambumangli tidak henti-hentinya mencaci maki Wisrawa. Ia menantang Wisrawa untuk melakukan perang tanding adu kesaktian.
Resi Wisrawa yang tadinya hanya diam tertunduk, lama kelamaan telinganya menjadi panas oleh caci maki Jambumangli, hatinya pun terasa sangat sakit oleh hinaan Jambumangli. Apalagi mengingat Jambumangli yang sebenarnya menyimpan rasa suka terhadap dewi Sukesi, maka terbakarlah segala nafsu amarah Wisrawa. Angkara murka tidak terkendalikan lagi diantara keduanya hingga diantara mereka kini sudah terlibat baku hantam. Perang tanding tidak terelakan lagi antara Wisrawa dan Jambumangli. Saling tendang, saling pukul, dan sama-sama saling mengeluarkan aji-aji kesaktian. Perang hebat antara keduanya disaksikan langsung oleh seluruh keluarga dan pembesar kerajaan Alengka, tidak terkecuali dewi Sukesi dan Prabu Sumali sendiri.
Raksasa Jambumangli yang adalah senopati agung yang selalu dapat memenangkan peperangan disetiap medan yuda, tentu memiliki kedigjayaan yang dapat dibanggakan oleh rakyat dan negara Alengka. Namun, meskipun begitu yang menjadi lawan tandingnya kini bukanlah seorang biasa. Adalah Wisrawa seorang begawan yang telah tersohor di seantero jagat, pandita sakti mandraguna. Dan pada akhirnya Jambumangli tidak sanggup menghadapi kesatian Wisrawa. Tidak ada senjata atau pusaka sakti yang bisa diandalkan oleh Jambumangli, semua pusakanya tidak bertuah di hadapan Wisrawa.
Resi telah dibakar amarah sehingga tidak memberi kesempatan kepada Jambumangli. Ia mengeluarkan pusaka Candrasa dari dalam tubuhnya. Pusaka sakti pemberian Brahma itu dibentangkan dan lalu lepas melesat bagai kilat tatit menggorok Jambumangli yang saat itu sudah tidak berdaya. Senopati Alengka yang jumawa jatuh tersungkur, tubuhnya menggelepar-gelepar, suaranya mengorok seperti seekor hewan buruan yang sedang disembelih. Kematian Jambumangli sungguh sangat mengenaskan. Betapa tidak, Senopati raksasa yang sudah tidak berdaya dan tinggal meregang nyawa saja, namun Wisrawa masih memburunya. Wisrawa yang sudah kesetanan dengan senjata tergenggam ditangan merobek-robek sekujur tubuh Jambumangli. Dengan sangat keji Wisrawa memotong-motong tubuh Jambumangli. Kepalanya dipotong, kedua tangan dan kakinya pun dipotong. Seorang resi yang selama itu disucikan oleh rakyatnya telah gelap mata, ia tidak lagi menyadari bahwa Sukesi saat itu sedang mengandung benihnya, maka suatu saat kelak perbuatan Wisrawa ini akan menjadi hukuman pada salah satu putranya sendiri. Salah satu putra Wisrawa suatu saat akan mengalami nasib yang sama dengan Jambumangli.
Senja kian bergelincir lingsir. Keluarga Alengka dirundung duka. Prabu Sumali tidak menyangka bahwa resi Wisrawa yang sangat dihormatinya mampu melakukan perbuatan sadis. Hari berganti hari, bulan pun kian berganti. Waktu terus berputar beriringan dengan hembusan angin yang bertiup mengantarkan kabar yang selama ini terkubur bagai bangkai busuk. Prabu Danaraja di negara Lokapala telah mendengar semua peristiwa yang terjadi di Alengka. Ia sangat terpukul. Tidak disangka ayahanda yang sangat dicintai dan dihormatinya itu telah sanggup melukai hatinya, menodai kehormatannya, dan menghianatinya. Nasi telah menjadi bubur. Danaraja yang sangat sakit hati dan kecewa tidak membiarkan begitu saja, ia berkeras akan membalas perlakuan ayahandanya. Hutang wirang dibayar wirang. Danaraja memerintahkan senopati Wisnungkara untuk melakukan gelar pasukan menyerang negeri Alengka. Ribuan pasukan Lokapala yang terdiri dari bala tentara raksasa dan manusia dengan senjata lengkap, siap tempur di medan yuda.
Prabu Sumali mendengar kabar akan datangnya serangan dari negeri Lokapala, ia menyerahkan semuanya kepada resi Wisrawa. Sebab, setelah Wisrawa telah disahkan menjadi suami dewi Sukesi, maka seluruh kerajaan Alengka diserahkan kepada Wisrawa. Bagaimanapun Wisrawa menjadi bingung, hatinya terasa luluh hancur. Ia bukan takut menghadapi perang, tapi bagaimana mungkin ia bisa berhadapan dengan putranya sendiri di medan perang? Tidak mungkin! Danaraja adalah putra mahkota yang sangat dicintainyai.
Perang besar terjadi antara Lokapala dan Alengka. Dua negara besar yang sama-sama memiliki kekuatan balatentara yang terdiri dari bangsa raksasa, kini telah saling berhadapan di medan yuda, hingga genderang perang bertalu keduanya sudah melakukan begal pati dalam kancah perang. Suara gemelentrang jamparing, gondewa, parang, tameng dan berbagai macam senjata perang lainnya saling beradu. Disertai teriakan-teriakan memekikan membuat suasana tempur menjadi semakin hiruk pikuk dan mencekam.
Prahasta adik dewi Sukesi yang kini menggantikan kedudukan Jambumangli sebagai Senopati Alengka, maju ke medan perang. Dengan sekuat tenaga ia menahan serangan-serangan prajurit Lokapala yang membabi buta. Prahasta tidak kalah sakti dan digjayanya dengan Jambumangli, tubuhnya yang besar perkasa bergerak lincah menerjang dan menghantam balik serangan-serangan lawan. Dilain pihak, Wisnuwungkur sebagai Senopati Lokapala tidak kalah hebat, dengan buas ia membunuh prajurit-prajurit Alengka. Prahasta tidak membiarkan pasukannya luluh lantak, ia segera menghadang Wisnungkara. Dua senopati agung itu terlibat baku hantam, saling dorong, saling terkam dan saling banting.
Sementara, Prabu Danaraja yang telah juga menghunus senjata merangsak maju ke garis depan. Senjatanya berkelebat-kelebat seperti kilat yang menyambar. Jeritan-jeritan kematian dari pihak prajurit Alengka melengking bersahut-sahutan, terbantai oleh tajamnya pedang Danaraja. Setiap prajurit Alengka yang coba menghadang langkahnya, putus nyawanya.
Danaraja mengarahkan serangannya pada inti pasukan yang dipimpin Prahasata. Melihat Wisnungkara yang kualahan menghadapi kesaktian Prahasta, Danaraja segera membantu. Ia memberi aba-aba kepada Senopatinya untuk mundur hingga ia kini berhadapan dengan Prahasta. Senopati Alengka bukanlah tandingan Danaraja. Raja Lokapala itu tidak mudah untuk dikalahkan, ia tidak bisa mati. Selama bumi masih dipijak, Danaraja tidak bisa mati. Hingga pada waktu yang sangat kritis Prahasta sudah berada diujung pusaka Danaraja. Namun sebelum Danaraja menusukan pusakanya kepada Prahasta, satu suara menghentikan gerakannya. Satu suara yang sangat tidak asing bagi Danaraja, suara yang sangat ia kenali, Wisrawa. Resi Wisrawa telah berdiri dihadapan Danaraja, tetapi ia tidak membawa senjata layaknya seorang senopati perang. Ia mengakui segala kekhilafannya dan meminta kepada Danaraja untuk mengakhiri peperangan. Wisrawa menyadari bahwa peperangan itu disebabkan oleh rasa sakit hati putranya terhadap dirinya, namun ia merasa tidak sanggup jika harus berhadapan perang dengan putra yang sangat disayanginya itu. Ia tidak ingin mengulang dosa yang kedua kali terhadap putranya. Wisrawa berserah pasrah atas hukuman yang akan dijatuhkan oleh putranya. Dilain pihak Danaraja yang sudah terbakar amarah tidak bisa memaafkan ayahandanya. Penghianatan itu harus berbalas dengan kematian. Begitu yang terpikir oleh Danaraja. Bukan hanya dirinya yang merasa terhianati tetapi juga ibunya. Maka, ketika mata hati Danaraja sudah tertutup dendam, pusaka sakti Gandik Kencana terlepas dari werangkanya dan menghunjam tubuh Wisrawa. Resi tua bahari itu tersungkur dihadapan Danaraja. Tanpa mampu berkata-kata lagi Wisrawa terlepas dari nyawanya.
Pekik sorak kemenangan pasukan Lokapala membahana di seantero medan perang. Dilain pihak, balatentara Alengka yang sudah pupus nyalinya meletakan senjata mereka, pertanda menyerah takluk. Namun tiba-tiba diantara ribuan manusia dan raksasa datang seorang wanita yang dalam keadaan hamil tua berlari sambil menjerit-jerit menangis mendekati jasad Wisrawa yang masih terbujur dihadapan Danaraja. Wanita itu jatuh tersungkur dihadapan jasad suaminya. Berbarengan dengan itu, sebelum dewi Sukesi melakukan belapati dengan menghunjamkan sebilah pisau di dadanya, ia sempat melahirkan anak2nya dihadapan jasad Wisrawa.
- Bayi pertama laki-laki terlahir dengan disertai darah berwarna merah (bersifat Amrah / Angkara), kelak ia akan menjelma menjadi Rahwana.
- Bayi yang kedua terlahir dengan disertai darah berwarna kuning (bersifat Lawwamah / Keinginan), kelak ia akan menjelma menjadi Kumbakarna.
- Bayi yang ketiga perempuan terlahir dengan disertai darah berwarna hitam (bersifat Sufiah / Rencana jahat), kelak ia akan menjelma menjadi Sarpakaneka
- Bayi yang terakhir laki-laki terlahir disertai darah berwarna putih (bersifat Mutmainah / Yang dirahmati), kelak ia akan menjelma menjadi Gunawan Wibisana.