Kamis, 29 Mei 2014

Durna Gugur

Bingung dan gundah rasa Sang Begawan mendengar teriakan bersahut sahutan yang mengabarkan kematian putranya Aswatama. Ia bertanya kesana kemari tentang kebenaran berita itu kepada beberapa prajurit yang ditemuinya. “Heh prajurit, apa benar Aswatama tewas ?”

“Benar begitu, ini yang saya dengar !” jawab beberapa prajurit yang ia tanya.

Ia berketetapan hati ia akan menanyakan kepada para Pandawa yang dianggapnya dapat berkata jujur. Bertemulah ia dengan Nakula dan Sadewa “Anakku kembar, kamu berdua adalah dua orang yang lugu, cepat katakan, apa benar Aswatama telah tewas ?”

“Itu yang saya dengar bapa, bahwa Aswatama telah tewas” keduanya menjawab seadanya. Namun jawaban keduanya yang tak mengurangi rasa penasaran, bahkan makin makin membuat ia bertambah bingung dan tubuhnya menjadi lunglai.” Ah . .  sama saja, bohong ! Kamu berdua memang tidak bisa dipercaya !” ketus sang Begawan, diputuskannya untuk mencari Puntadewa yang selamanya tak pernah bohong.

Melihat gelagat bahwa Pendita Durna hendak mencari tahu atas berita kematian anaknya kepada sepupunya Puntadewa, Kresna mendekati Puntadewa dan mengingatkan. “Adimas Puntadewa, kami hanya mengingatkan kepadamu agar berbuat sesuatu ketika nanti Bagawan Durna datang kepadamu, dan menanyakan tentang keberadaan Aswatama. Perbuatan dan perkataan adinda Prabu nanti bila berhadapan dengan Bapa Pandita, adalah titik dimana Pendawa akan unggul atas Kurawa atau sebaliknya”.

Kata kata bersayap Sri Kresna dimengerti oleh Puntadewa, “Akan kami lakukan apa yang diperingatkan oleh kanda Prabu”

Demikiankah, memang benar, Begawan Durna yang sudah kalang kabut pikirannya datang kepada Puntadewa menanyakan perihal anaknya.

“Puntadewa anakku, kamu adalah satu diantara manusia langka yang mempunyai darah yang berwarna putih. Manusia berdarah putih yang bila darah itu menimpa bumi dapat menyebabkan bumi menjadi terbelah. Hati orang yang berdarah putih mempunyai kerelaan yang tiada terkira, apapun yang orang minta, tidak memandang itu dari golongan apapun, pasti akan ia kabulkan. Kata katanya juga tak akan pernah bohong barang sekalimatpun” Durna memuji-muji Puntadewa dan berharap ia mengatakan sejujurnya apa yang terjadi. Lanjutnya,“Sekarang aku sudah berhadapan dengan manusia semacam itu. Sekarang katakan, apakah benar Aswatama mati? Itu hal yang bohong, bukan ? Aswatama sekarang masih hidup, bukankah begitu ?!”Setengah mendesak  agar ia mengatakan hal yang sebenarnya dan mengharapkan agar anaknya masih dalam keadaan hidup.

Tetapi terbawa oleh kekalutan pikiran dan riuhnya suasana peperangan, maka ketika Puntadewa yang pantang berbohong mengatakan, “Bapa Guru, yang kami tahu, memang Hestitama mati” dan ia mengatakannya dengan tekanan kalimat pada kata tama sementara kalimat Hesti terucap pelan. Diterima dengan salah, maka jatuhlah Durna terkulai bersandar tebing batu. Setengah tega, ditinggalkan gurunya yang ada antara sadar dan tidak. Dalam hati Begawan Durna, jelaslah, Puntadewa yang tak pernah bohong mengatakan Aswatama telah tewas.

Ternyata tidak hanya kalutnya hati dan riuhnya suasana perang yang mengakibatkan Durna salah terima, sukma raja Paranggelung, Prabu Palgunadi yang sewaktu muda bernama Bambang Ekalaya atau Ekalawiya yang masih membayangi kehidupan Begawan Kumbayana di alam madyantara-pun, punya peran untuk meniupkan kalimat Aswatama ditelinga sang Begawan.



Nah Bapa Guru, sekarang adalah waktunya bagi muridmu untuk membawamu ke alam dimana tak ada lagi aturan yang membatasimu, agar tidak menerima murid selain dari darah Barata. Bapa guru tak lagi dapat bertindak pilih kasih kepada setiap muridmu. Mari guru akan kita selesaikan perkara yang masih belum selesai waktu lalu” kata Prabu Palgunadi yang melihat “guru imaginasi”-nya menjadi tak berdaya atas keyakinan bahwa anaknya sudah tewas.
****

Demikianlah, diceritakan pada waktu itu, Prabu Palgunadi yang sangat gandrung dengan ilmu kanuragan. Walau ia sudah menjadi raja dengan segala kemewahan duniawi dan beristri cantik yang setia, Dewi Anggrahini, tetapi ia sangat kepincut dengan ilmu jaya kawijayan dan kanuragan yang diajarkan oleh Durna. Maka ia merelakan meninggalkan kerajaannya dan menyatakan niatnya berguru kepada Begawan Durna.

Jelas saja ia ditolak, karena Begawan Durna sudah diberi batasan, bahwa yang berhak menyerap ilmu darinya adalah hanya trah Barata, alias putra putra dari Adipati  Drestarastra dan Prabu Pandu, serta putra Raden Yamawidura.

Dengan perasaan sedih, Palgunadi pergi dari hadapan Begawan Durna.

Kerasnya tekad Palgunadi makin menjadi-jadi ketika ia ditolak berguru di Sokalima. Dengan ditemani istri setianya ia membangun arca berujud Begawan Durna ditempat pengasingannya. Dipusatkan pikirannya seakan setiap kali ia ada didepan arca Durna, ia sedang menerima ilmukanuragan, kasantikan beserta segenap wejangannya.

Waktu berlalu, dan tahunpun berganti. Ketrampilan tata perkelahian dan olah panah sang Palgunadi sedemikian hebatnya, oleh karena ketekunannya dalam memusatkan pikiran dihadapan arca yang direka sebagai sang guru sejatinya.

Maka ketika ia sedang berkelana di hutan, bertemulah ia dengan Permadi-Arjuna. Harga diri memperebutkan buruan menjadikan perang tanding diantara keduanya.

Berhari hari tanding tiyasa berlangsung dengan imbang. Tetapi dalam olah permainan panah, Arjuna kalah oleh ketrampilan Palgunadi.

“Heh Arjuna, jangan menyesal kamu berhadapan dengan murid Sokalima, Begawan Durna. Masihkan kamu hendak menyamai kesaktianku ? Taklah kamu bakal mengalahkan murid terkasihnya !”Masygul dipermalukan, bahkan sumbar sang Palgunadi yang menyebut nama gurunya adalah juga sebagai guru musuhnya, ia kembali ke pertapaan Sukalima dan mengadukan peristiwa itu dan menuduh, bahwa gurunya telah secara diam diam berselingkuh dengan menerima murid selain saudara sedarah Barata-nya.

Tak terima dengan tuduhan itu, ia ingin membuktikan ketidak benaran tuduhan itu,dengan mengajak Arjuna ketempat Palgunadi berada.

Setelah bertemu, Ekalaya terkesiap hatinya. Sangat bersuka cita ia sehingga tak dapat berbuat apapun, kekagumannya atas Sang Begawan seakan mengunci segenap tindakannya. Setelah tersadar, ia menjatuhkan diri berlutut dihadapan Begawan Durna, dan dengan takzim ia menghaturkan sembah, “Guru, perkenankan muridmu menghaturkan bakti atas kunjunganmu terhadap muridmu ini. Sungguh anugrah yang tak terhingga kedatangan paduka guru, sehingga sejenak hamba tak dapat berbuat sesuatu apapun dalam menerima kedatangan paduka guru yang tiba tiba ini”

Panas hati Arjuna melihat adegan didepannya, “Benarlah ternyata, bahwa bapa Durna telah menyalahi janji dihadapan para sesepuh kami”

Eits, nanti dulu . . .! Inikah orang yang mengaku sebagai muridku? Bila memang sungguh begitu, lakukan layaknya seorang murid dihadapan gurunya”, Durna yang merasa terdesak oleh tuduhan yang dilontarkan dengan rasa kecemburuan yang besar dari Arjuna coba berkelit dengan susah payah.

“Apakah yang Guru hendak perintahkan kepada muridmu ini, akan hamba kerjakan sesuai kemampuan kami” mantap jawaban Palgunadi mengharap ia tidak disisihkan dari statusnya sebagai murid Sokalima. Tersenyum ia seakan segenap permintaan sang guru maya itu bakal ia penuhi. Tak tahu, bahwa olah rekayasa guru Durna mempunyai tujuan memunahkan segala ketrampilannya dalam olah warastra.

“Begini Palgunadi, bila kamu hendak diakui sebagai muridku, maka berikanlah cincin yang menyatu pada jari manismu itu !” Akal Durna seketika terang sewaktu melihat cincin Gandok Ampal yang menyatu pada jari manis Ekalaya.

“Aduh Sang Resi, adakah cara lain agar hamba dapat menukar permintaanmu, duh sang Guru ?” Memelas kata kata Ekalaya mendengar permintaan itu. Cincin Gandok Ampal yang melekat pada jarinya adalah penyeimbang gerak jari tangan yang menjadikan ia dapat dengan jitu membidik sasaran. Bahkan benda itu telah menyatu dalam kulit daging sehingga bila dilepaskan nanti, maka sama artinya ia menyerahkan kesaktian bahkan nyawanya.

Ketika ia masih berpikir dan gurunya pun berpikir sembari menunggu keputusan kata akhir dari Palgunadi, Arjuna menyelonong menyampaikan usulnya.

“Bapa Guru dan juga Palgunadi, bila tidak keberatan, maka cincin itu dapat dipertahankan melekat pada jarinya, asalkan ditukar dengan yang ada dibelakangmu itu, Palgunadi”

“Apa yang kamu maksudkan Arjuna ?” Tanya Palgunadi yang heran dengan permintaan Arjuna.

“Wanita dibelakangmu dapat kamu tukar dengan cincin yang melekat dijarimu. Bukankan itu hal yang bersifat adil Bapa Guru ? Jelas Arjuna sambil meminta pertimbangan kepada gurunya dan dijawab Sang Guru dengan menganggukkan kepalanya.

Memerah muka Palgunadi ketika sang istrinya disebut sebagai tanda tetukar atas pengakuan sebagai murid Sokalima. Kedua permintaan antara guru dan murid Sokalima itu telah menyudutkan pilihan atas kuatnya hasrat memiliki sesuatu. Ia akan merelakan nyawanya bila cincin itu ia serahkan, sedangkan kehormatan seorang suami akan memberontak bila seorang istri diminta lelaki lain

Berpikir keras Palgunadi menimbang yang manakah yang hendak ia pilih. Samar ia mendengar guru maya-nya mengingatkankan, “Palgunadi, aku tak punya cukup waktu aku menungguimu. Cepat putuskan pertimbanganmu”

Kaget Palgunadi, terputus angan angannya ketika ia diminta segera memutuskan pilihannya. Sejenak ia berbalik badan memandangi Anggraini. Wanita cantik itu tertunduk gelisah. Pilihan yang berat bagi suaminya. Anggraini adalah istri yang sangat mengerti sekali akan watak suaminya. Ia tahu betapa suaminya sangat gandrung dengan olah ilmu kanuragan aliran Sokalima. Pastilah ia tak akan mundur dalam mempertahankan status ilusinya, bahwa ia adalah murid perguruan Sokalima. Dan saat ini status guru-murid ilusi itu akan berganti dengan status diakui penuh, bila ia dapat menyerahkan salah satu dari dua pilihan itu.
Angan itu terputus ketika suara istrinya menanyakan beberapa hal,“Kanda, apakah rela bila seorang suami menyerahkan istrinya ? Apakah benar tindakan seorang suami yang merelakan istrinya dijamah lelaki lain ? Tidakkah seorang suami terusik kehormatannya bila belahan jiwanya dimiliki oleh orang yang tidak berhak memiliki . . . .”

“Baiklah . . . “ , potong Palgunadi sebelum istrinya meneruskan kalimatnya panjang lebar, “ Sekarang aku akan memutuskan !” Sejenak ia terdiam dan kembali menghadap Begawan Durna, yang tersenyum puas terhadap apapun yang Palgunadi hendak pilih. Bila ia memilih istrinya diserahkan kepada Arjuna, maka ia akan melihat, betapa Palgunadi akan  tersiksa dan goyah lahir-batinnya hingga ia merana, bahkan dapat berujung pada kematiannya. Bila ia akan menyerahkan cincin dijarinya, ia sangat yakin, cincin itu adalah keseimbangan jiwa raga bagi Palgunadi, dan ia akan tewas bila ia menyerahkan cincin sekaligus jarinya.

“Guru, aku telah memutuskan. Aku serahkan . . . . . cincinku beserta segenap jiwa dan ragaku” Tegar Ekalaya dengan pilihan hatinya. Bagaimanapun status murid Sokalima adalah kebanggaan tiada tara baginya. Kebanggaan yang sejatinya adalah semu dan membabi buta, telah mengantarkannya pada keputusan yang tak mengherankan bagi setiap manusia yang bersikap sangat fanatik terhadap kepercayaan yang sudah tertanam dalam sanubari, sebagai dogma yang tak mudah diasak. Bahkan, bagi sebagian orang seperti itu, mengorbankan jiwa raganya sekalipun ia rela melakukannya demi mempertahankan kebanggaan serta kebenaran yang dipercayainya. Padahal semua kebenaran adalah nisbi, dan kebenaran bagi suatu pihak, golongan atau perseorangan belum tentu benar bagi yang lain. Kebenaran sejati hanya terpancar dari hukum alam semesta.

Terkekeh Begawan Durna senang, tak peduli ia sebagai manusia yang timpang rasa keadilannya. Tak salah, bahwa ia telah diberi batasan serta janji bahwa hanya kepada trah Barata-lah ia boleh menurunkan ilmunya. Tak terbatas pada orang Pandawa dan Astina serta trah Yamawidura yang sekarang tinggal di Astina, tetapi Kurawa sabrang yang terpental pada kejadian Pandawa Traju-pun *) tetap menjadi muridnya. Sekarang ia akan mengenyahkan satu trubusan yang mencederai janji itu, sekaligus membuktikan kepada murid terkasihnya, Arjuna, bahwa ia tidak ingkar janji.

“Segera letakkan jarimu diatas batu itu, relakan bahwa apa yang terjadi adalah atas dasar kesungguhanmu dan kesetiaanmu pada perguruan Sokalima”
“Baik bapa Guru, satu kata kata yang hendak aku sampaikan kepadamu, bila aku mati karena peristiwa ini, ini adalah suatu tanda bagi seorang guru yang pilih pilih menjatuhkan kasih bagi murid muridnya…..” antara rela dan tidak Palgunadi megutarakan isi hatinya.

“Sudahlah jangan banyak cakap, aku akan melaksanakannya sekarang juga” Durna tidak mau terpengaruh kata kata Palgunadi dengan memotong pembicaraannya.

Segera Palgunadi meletakkan telapak tangannya diatas batu, bersamaan dengan dicabutnya senjata Cundamanik. Putus jari manis Palgunadi beserta cincin Gandok Ampal dengan sekali iris. Tak dinyana begitu putus jari, yang seharusnya hanya cedera yang ia alami, tetapi kemudian yang terjadi adalah tubuh Palgunadi bergetar hebat. Desis kesakitan yang amat sangat keluar dari mulutnya, kemudian ia terkapar terbujur meregang nyawa. Tewas sang Palgunadi.

Tertegun Begawan Durna dan Arjuna melihat kejadian dihadapannya, hingga ia lengah. Cundamanik yang ada ditangan Durna secepat kilat ada pada genggaman Anggraini yang kemudian menusukkan keris ditangannya ke dada tembus di jantung. Menyusul sang istri setia kepangkuan suami tercinta ke alam sunya ruri. Terbujur dua orang yang saling mencinta itu dengan meninggalkan bau harum memenuhi sekitar tubuh keduanya.

Belum lagi tersadar sepenuhnya Begawan Durna, ia dikejutkan denga suara yang terngiang di telinganya, “Bapa Guru, telah sempurna aku sebagai  muridmu. Tetapi ajaranmu yang sebenarnya masih aku tunggu, sampai aku melihat waktu yang tepat untuk kembali mencecap ilmu darimu “
******

Melihat sang Drestajumna diatas kereta senapati dengan pikiran kosong, sedih dan rasa duka mendalam setelah kematian ayahnya Prabu Drupada, maka bergeraklah sukma Palgunadi menuju kearah Drestajumna. Segera berubah raut muka Drestajumna menjadi liar ketika sukma Ekalaya menyatu dalam raganya.
“Durna ! dimana kamu? Aku akan bela pati atas kematian ayahandaku. Ini adalah anaknya yang dari lahir sudah menggenggam busur ditangan kiri dan menggendong anak panah dipunggungku. Aku yang akan meringkusmu dan akan aku jadikan bulan bulanan kepalamu !”Sesumbar Drestajumna liar dengan mata jelalatan mencari dimana Durna berada.

Maka gembira hati Drestajumna ketika melihat Begawan Durna mengeluh panjang pendek menyesali kematian anaknya semata wayang.“Aswatamaaaaa . . . . , huuu . . . kamu adalah harapanku, satu satunya penyambung keturunan Atasangin. Kamu yang siang malam aku gadang gadang bakal menggantikan peran bapakmu. Sukur kalau kamu dapat aku jadikan raja agung binatara dan menguasai jagad. Anakku bagus tampan Aswatama ,kamu adalah anak yang bukan sembarangan, tetapi kamu adalah  manusia linuwih. Kamulah anak setengah dewa, karena ibumu Wilutama adalah seorang bidadari. Maka kamu pasti akan dapat dengan mudah menguasai banyak jajahan. Bahkan negara Astinapun dapat kamu kuasai bila kamu sudah bertahta di Atasangin nanti. Anakku . . . , dimana jasadmu sekarang. Bila mungkin akan aku mintakan kepada ibumu agar kamu dapat dihidupkan kembali. Wilutama . . . , pertemukan aku dengan anak tampanmu. . .” menangis mengenaskan Durna sambil mulutnya meracau, berdiri condong bersandar tebing batu.

Malang begawan Durna, Drestajumna yang dalam penguasaan arwah Palgunadi melihat keberadaan Begawan Durna yang menangis meraung raung mengenang nasib anaknya. Tak satupun sosok Kurawa didekatnya karena mereka sibuk mencari keberadaan Aswatama yang diperintahkan untuk menjauh dari medan peperangan. Para Kurawa sebenarnya bermaksud untuk mempertemukan Aswatama dengan ayahnya agar selesai masalah kekalutan jiwa yang menimpa Begawan Durna.

Tanpa sepatah kata, Drestajumna segera meraih tubuh renta dan menjadikan tubuh itu sebagai layaknya kucing memainkan seekor tikus. Tak hanya sampai disitu, ditebasnya leher Begawan Durna. Kepala menggelinding ditanah berdebu dan dijadikan bola tendang dan kemudian dilemparkan jauh jauh.

Tewas Sang Kumbayana dan sukmanya dijemput oleh sahabatnya, Sucitra, yang tidak menunggu lama kedatangan karibnya itu ketika muda. “Lhadalah, tidak usah terlalu lama aku menunggumu, sahabat” sambut Sucitra dengan senyum mengambang di bibirnya dan kedua tangan mengembang menyambut kehadiaran Kumbayana. Keduanya berangkulan, layaknya sahabat kental yang sudah lama tidak saling jumpa.

Kumbayana yang menyambut uluran kedua tangan Sucitra dan dengan hangat membalasnya. “Hebatlah anakmu yang mengerti kemauan ayahnya, yang tak harus lama menunggu kedatanganku. Walaupun aku juga tahu bahwa muridku Palgunadi-pun sudah lama menunggu dan menyatu dalam raganya” Kumbayana memuji anak Sucitra yang telah mengantarkan ke hadapan sahabatnya. Bergandengan tangan dengan ceria keduanya melangkah menapaki tangga suci keabadian.

******

Diceritakan, ketika kepala itu telah hilang dari pandangan mata Drestajumna, barulah ia merasakan keletihan yang tiada terkira. Sukma Ekalawiya yang telah meninggalkan raganya menyadarkannya apa yang terjadi dihadapannya. “Aduh betapa berdosanya aku yang telah tega membunuh guru para pepundenku Pandawa. Betapa nistaku yang telah menghajar manusia sepuh yang sudah tak berdaya, walaupun ia telah menewaskan ayahandaku, tetapi ia melakukan dengan jiwa kesatrianya”. Drestajumna menyesali tindakannya.

Dipejamkan matanya seolah hendak mengusir bayangan yang memperlihatkan betapa ia telah secara keji membunuh guru para darah Barata. Betapa ia menjadi giris ketika ia membayangkan bila murid muridnya tidak terima atas perilaku yang telah ia lakukan. Tetapi semakin dalam dipejamkan mata itu, semakin kuat bayangan yang menghantui hatinya.

Ketika ia membuka kembali matanya, dihadapannya telah berdiri Prabu Kresna dan Werkudara.

Geragapan, ia kaget setengah mati karena rasa bersalah. Tetapi sejenak kemudian ia menjadi merasa sejuk hatinya, ketika Prabu Kresna meraihnya dan memeluk tubuhnya. Dan mengatakan, “Drestajumna, tidak ada yang perlu kamu sesali. Segalanya adalah sudah garis takdir dari yang maha kuasa. Bukan salahmu, sebagai titis Wisnu aku mengetahui bahwa tindakan kamu bukan atas kehendakmu sendiri. Sukma Palgunadi yang telah membalas ketidak adilan perilakunya dalam memperlakukan dirinya sebagai murid, adalah ganjaran yang setimpal. Segera ambil kembali kereta senapati perang, sebelum sore menjelang”

Ketika itu, berita kematian Pendita Durna telah sampai ketelinga Aswatama yang tengah bersembunyi. Ia langsung memperlihatkan diri dan bertemu ia dengan Patih Sengkuni. “Paman Harya, benarkah ayahandaku telah gugur ?” tak sabar ia menanti jawaban Sengkuni.

 “Benar anakku, kematian orang tuamu sungguh membuat siapapun menjadi miris dan menimbulkan rasa tak tega. Dipenggalnya kepala orang tuamu dan dijadikannya bola sepak yang ditendang kesana kemari”. Sengkuni menceritakan peristiwa yang terjadi dengan dibumbui cerita yang didramatisir.

“Siapa yang melakukan, Paman Harya !” muntap kemarahan Aswatama, kembali ia memerah mukanya dengan mata yang menyala nyalang, gemeratak giginya dan  sudut bibirnya bergetar.

“Pelakunya adalah Drestajumna . . . .  !”. belum selesai Sangkuni mengucapkan nama pelaku pembunuh orang tuanya, Aswatama telah melompat kearah palagan peperangan, sambil menghunus keris warisan orang tuanya, kyai Cundamanik. Dicarinya Drestajumna dengan kobaran api dari bilah keris yang menyala berkobar menyambar nyambar dengan bunyi yang menggelegar bergemuruh ditangannya.

Gentar Drestajumna yang melihat amukan anak Durna, dan ia berlari mundur karena merasakan tenaganya yang telah terkuras tadi dirasakannya tak kan lagi cukup  untuk menghadapi amukan Aswatama.Dan selagi ia mundur, ia bertemu dengan Setyaki yang segera mencengkeram bahu sang senapati dengan kemarahan, “Inikah senapati Hupalawiya? Ketika menghadapi orang tua yang dalam keadaan tanpa daya telah tega memenggal kepalanya? Inikah Senapati Randuwatangan? Yang dengan gagah berani membulan bulani kepala dari guru para pepunden Pandawa. Tetapi apa yang terjadi, ketika melihat amukan anaknya, senapati gagah itu ia telah “tinggal gelanggang colong playu” dengan muka pias pucat bagai segumpal kapas !”

“Setyaki, aku menjadi senapati bukan atas kemauanku sendiri. Aku jadi senapati adalah karena jejak laku sepanjang hidupku dimasa lalu yang dapat mengatasi segala kesulitan yang menghadang dihadapanku dan tak pernah gagal dalam melakukan tugas. Janganlah mencercaku tanpa dasar. Apakah kamu akan berusaha menggantikanku? Langkahi dulu mayatku sebelum kamu melakukan itu!”

Keduanya segera berhadapan dengan kuda kuda kaki yang siap menyerang. Tetapi hardikan yang keras telah menghentikan langkah keduanya. Suara hardikan itu datang dari mulut Prabu Kresna, “Setyaki, Drestajumna berhentilah! Alangkah memalukan bila ini menjadi tontonan musuh. Betapa hinanya kamu berdua yang tak urung juga akan mendera aku sebagai seorang penasihat perang”.

Kedua orang yang bersengketa itu akhirnya sama sama duduk bersimpuh menghadap Sang Prabu. “Setyaki, jangan menjadi pandir dan seolah olah kamulah yang paling benar. Tanyakan dulu latar belakang peristiwa pada yang bersangkutan. Jangan sesuatu dibawa dalam hawa amarah. Mengertikah kamu, Setyaki? Setyakipun mengangguk.”Mintalah maaf atas kelancanganmu” kembali Setyaki mengangguk dan meminta maaf atas kelakuannya tadi.

“Werkudara! Temui Aswatama cegahlah amukannya!” Kresna memberikan perintah kepada Werkudara yang selalu mengikuti kemana Kresna pergi. Kembali Werkudara masuk kedalam arena pertempuran yang masih berlangsung sengit menjelang usai sore hari. Dengan langkah tegap dan kembali menimang gada Rujakpolo dihampirinya Aswatama yang dengan garang ingin memburu Derstajumna.

Aswatama yang dihadang Werkudara makin marah. Segala usaha dikerahkan untuk mendesak lawannya, tetapi ia bagaikan sedang berusaha menembus kokohnya benteng baja.

Merasa tak ada urusan dengan Werkudara, ia memutuskan untuk mundur dengan mengucapkan sumpah, “Ingat orang orang Pancala, aku akan datang kembali menuntut balas atas kematian ayahku. Aku tak akan mati sebelum membasmi orang Pancala lelaki ataupun perempuan, beserta turunnya, tumpes kelor !”

Kresna Gugur

Santiparwa
  Usai perang Bharatayuda, ketika dilangsungkan upacara pembakaran mayat para kurawa yang telah tewas, semua anak menantu Gandari (Ibu para Kurawa) telah menjadi janda dan menangis sedih di hadapan mayat-mayat suami yang telah tewas. Gandari juga ada di tempat itu. Para Pandawa dengan ditemani oleh Kunti dan Sri Krisna juga hadir di iringi oleh rakyat yang merasa sangat sedih karena kehilangan sanak saudara mereka. krisna menghibur Gandari, dan berkara, ‘ Mengapa Ibunda menangis? Inilah dunia Ibupun pada suatu ketika akan meninggalkan dunia ini. lalu mengapa menangis?’. Gandari menjawab, ‘Kalau saja anda tidak merencanakan hal ini maka semua anak-anak-ku akan hidup, tidak terbunuh seperti ini. Krisna menjawab, ‘Perang untuk menegakan Dharma tidak dapat dicegah. Apa yang dapat kuperbuat, aku hanya suatu alat’. Lalu Gandari berkata, ‘Paduka ini Taraka Brahma. Apabila paduka menghendaki, paduka bisa mengubah pikiran mereka tanpa perlu melakukan pertempuran’.

Biarlah seluruh dunia melihat dan menarik pelajaran.

Selanjutnya Gandari mengucapkan sumpah, ‘Seperti halnya anggauta keluargaku mengalami kehancuran dihadapan mataku sendiri demikianlah hendaknya anggauta keluarga paduka mengalami kehancuran dihadapan mata paduka sendiri’

Krisna tersenyum dan menjawab, ‘Semoga demikian’. Krisna menerima sumpah itu. Ia ingin menunjukkan bahwa kekuatan moral itu mempunyai nilai dalam kehidupan dan kekuatan itu harus diakui adanya


Mosalaparwa

Mosalaparwa atau Mausalaparwa adalah buku keenam belas dari seri kitab MahaBharata. Adapun ceritanya mengisahkan musnahnya para Wresni, Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum di Mathura-Dwaraka (Dwarawati) tempat Sang Kresna memerintah. Kisah ini juga menceritakan wafatnya Raja Kresna dan saudaranya, Raja Baladewa.

Diceritakan bahwa pada saat Yudistira naik tahta, dunia telah memasuki zaman Kali Yuga atau zaman kegelapan. Beliau telah melihat tanda-tanda alam yang mengerikan, yang seolah-olah memberitahu bahwa sesuatu yang mengenaskan akan terjadi. Hal yang sama dirasakan oleh Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan bangsanya akan berakhir, sebab ia melihat bahwa banyak pemuda Wresni, Yadawa, dan Andhaka yang telah menjadi sombong, takabur, dan senang minum minuman keras sampai mabuk.

Pada suatu hari, Narada beserta beberapa resi berkunjung ke Dwaraka. Beberapa pemuda yang jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan para resi. Mereka mendandani Samba (putera Kresna dan Jembawati) dengan busana wanita dan diarak keliling kota lalu dihadapkan kepada para resi yang mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka berkata, "Orang ini adalah permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya. Kalian adalah para resi yang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau perempuan?". Para resi yang tahu sedang dipermainkan menjadi marah dan berkata, "Orang ini adalah Sang Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, melainkan senjata mosala yang akan memusnahkan kamu semua!" (mosala = gada)

Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan gada besi dari dalam perutnya. Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk. Beberapa bagian dari senjata tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong besi kecil. Setelah senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya dibuang ke laut. Lalu Sang Baladewa dan Sang Kresna melarang orang minum arak. Legenda mengatakan bahwa serbuk-serbuk tersebut kembali ke pantai, dan dari serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti rumput namun memiliki daun yang amat tajam bagaikan pedang. Potongan kecil yang sukar dihancurkan akhirnya ditelan oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh nelayan lalu dijual kepada seorang pemburu. Pemburu yang membeli ikan itu menemukan potongan besi kecil dari dalam perut ikan yang dibelinya. Potongan besi itu lalu ditempa menjadi anak panah.

Setelah senjata yang dilahirkan oleh Sang Samba dihancurkan, datanglah Batara Kala, Dewa Maut, dan ini adalah pertanda buruk. Atas saran Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka melakukan perjalanan suci menuju Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di pinggir pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, Satyaki berkata, "Kertawarma, kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau telah membunuh para putera Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam keadaan tidur. Perbuatan macam apa yang kau lakukan?". Ucapan tersebut disambut oleh tepuk tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa ia mendukung pendapat Satyaki. Kertawarma marah dan berkata, "Kau juga kejam, membunuh Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk memulihkan tenaga".

Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna. Melihat hal itu, para Wresni marah lalu menyerang Satyaki. Putera Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna. Kemudian setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk tanaman eruka yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman tersebut berubah menjadi senjata setajam pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan Wresni, Andhaka, dan Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Kresna memperhatikan dan menyaksikan rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka. Dengan menahan kepedihan, ia mencabut segenggam rumput eraka dan mengubahnya menjadi senjata yang dapat meledak kapan saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan senjata di tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi. Senjata tersebut meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.

Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa kesatria yang masih hidup, seperti misalnya Babhru dan Bajra. Kresna mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang mengakibatkan bangsanya hancur, namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari, Ia mengetahui bahwa tidak ada yang mampu mengalahkan bangsa Wresni, Yadawa dan Andhaka kecuali diri mereka sendiri. Bangsa itu mulai senang bermabuk-mabukan sehingga berpotensi besar mengacaukan Bharatavarsa yang sudah berdiri kokoh. Setelah menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata kepalanya sendiri. Kemudian Balarama pergi ke hutan, sedangkan Kresna mengirim utusan ke kota para Kuru, untuk menempatkan wanita dan kota Dwaraka di bawah perlindungan Pandawa; Babhru disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka disuruh untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa telah hancur. ke hadapan Raja Yudistira di Hastinapura.


Sri Krisna kemudian pergi ke hutan tempat dimana Balarama menunggunya. Kresna menemukan kakaknya duduk di bawah pohon besar di tepi hutan; ia duduk seperti seorang yogi. Kemudian ia melihat seekor ular besar keluar dari mulut kakaknya, yaitu naga berkepala seribu bernama Ananta, dan melayang menuju lautan yang di mana naga dan para Dewa datang berkumpul untuk bertemu dengannya.

Dalam Bhagawatapurana dikisahkan setelah Baladewa ambil bagian dalam pertempuran yang menyebabkan kehancuran Dinasti Yadu Setelah itu Ia duduk bermeditasi di bawah pohon dan meninggalkan dunia dengan mengeluarkan ular putih besar dari mulutnya, kemudian diangkut oleh ular tersebut, yaitu Sesa.

Setelah menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna kemudian duduk disebuah batu dibawah pohon di Prabhasa Tirta, mengenang segala peristiwa Ia tahu bahwa sudah saatnya ia ‘kembali’. Kemudian ia memulai menutup panca indrianya melakukan yoga dengan sikap Lalita Mudra. Bagian dibawah kakinya berwarna kemerah-merahan.

Saat itu ada seorang Vyadha (pemburu) bernama Jara, setelah seharian tidak mendapat buruan, melihat sesuatu berwarna kerah-merahan, Ia pikir, ‘Ah, akhirnya kutemukan juga buruanku’, Ia memanahnya dengan panah yang berasal dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala yang telah dihancurkan kemudian panah itu diberi racun. Ia memanah dan panah itu tepat mengenai benda kemerah-merahan itu. Jara, sang Pemburu segera berlari ketempat itu untuk menangkap mangsanya dan dilihatnya Shri Krisna yang berjubah kuning sedang melakukan Yoga namun dengan tubuh kebiru-biruan akibat menyebarnya racun panah itu. Jara kemudian meminta ma'af atas kesalahannya itu. Sri Kresna tersenyum dan berkata,

‘Kesalahan-kesalahan sedemikian ini jamak dilakukan manusia. Seandainya aku adalah engkau tentu akupun melakukan kesalahan itu. Kamu tidak dengan sengaja melakukannya. Jangan di pikir. Kamu tidak tahu sebelumnya aku berada di tempat ini. Kamu tidak dapat dihukum secara hukum maupun moral, Aku mengampunimu. Aku sudah menyelesaikan hidupku’.

Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih bertahan hidup. Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna mohon pamit demi menjenguk Basudewa (Sri Krisna). Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.

Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa dengan Orang-orang tua, anak-anak, janda-janda yang ditinggalkan mati oleh para suaminya di dalam peperangan, Arjuna bersama para ksatria yang tersisa kemudian membawa pergi para Brahmana, Ksatria, waisya, sudra, wanita dan anak-anak Wangsa Wresni, untuk menyebarkannya di sekitar Kurukshetra.

Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewa yang sedang lunglai. Setelah menceritakan beberapa pesan kepada Arjuna, Basudewa mangkat.

Sesuai dengan amanat yang diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi ke Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota Dwaraka akan disapu oleh gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan perampok. Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan perampok tersebut. Ia sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Di Kurukshetra, para Yadawa dipimpin oleh Bajra.
Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk melakukan perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan duniawi.

Yang menarik dari catatan kematian Krisna adalah:
  • Bangsa Yadawa terkenal tidak terkalahkan sehingga menjadi sombong, arogan kasar dan gemar mabuk2an di menjelang akhir kehidupan sehingga cukup aneh bila ada pemburu yang tidak terusik dan santai di sekitar tempat pertemuan bangsa Yadawa tersebut
  • Disekitar hutan tersebut, saat itu justru sendang terjadi perang dashyat yang berujung musnahnya bangsa Yadawa, maka bagaimana mungkin ada seorang Pemburu yang begitu santainya berburu?
  • Sebagai seorang pemburu rusa, tentunya ia mengerti prilaku rusa yang sangat waspada dan gampang terkejut, jadi bagaimana mungkin ada rusa disekitar perang besar bangsa Yadawa tersebut.
  • Satu kebetulan menarik lainnya adalah arti nama Jara adalah Usia Tua, Sehingga ada pendapat bahwa kematian Krisna di panah Pemburu bernama Jara, merupakan sebuah metaphora? yaitu wafat dikarenakan usia tua [125 tahun]
Dengan catatan di atas, maka terdapat dua pesan terakhir Krishna yaitu:
  • Kematian Krisna adalah benar karena usia tua, sehingga percakapan antara Krishna dan Jara merupakan tambahan dan bukan yang sebenarnya, maka pesan terakhir dari Krisna hanyalah kepada Arjuna untuk menyelamatkan sisa-sisa penduduk bangsa Yadawa yang tidak mati akibat perang saudara dan tenggelamnya Drawaka
  • Apabila Pemburu itu ada maka pesan terakhir krisna ada dua yaitu menenangkan Jara dari perasaan bersalah dan kepada Arjuna untuk menyelamatkan sisa2 penduduk Yadawa yang tidak mati akibat perang saudara dan tenggelamnya Drawaka.

Pandawa Dadu


 Setelah Pandawa membangun istana, banyak orang-orang Astina yang pindah kenegeri baru yang bernama Amarta atau Indraprasta. Rakyat makmur, pertanian maju perdagangan lancar, murah sandang murah pangan.
Prabu Suyudana dan saudara saudaranya yang seratus itupun telah datang ke Indraprasta.Dengan diantar Prabu Pundewa dan Prabu Kresna, mereka berputar-putar melihat keindahan dan keajaiban Istana Indraprasta.


Setelah melihat Istana Indraprasta Para Kurawa menjadi iri hati dan menjadikan mereka ingin memiliki Istana Indraprasta. Kurawa bermaksud mencelakai Pandawa untuk yang kesekian kalinya. Iri dengan keindahan Indraprasta, dengki andaikata  Para Pandawa mendapatkan sebagian Astinapura, dan dengki andaikata Pandawa menguasai Astinapura, maka Kurawa ingin membuang Pandawa untuk selama-lamanya.  Salah satu cara dengan mengajak Pan dawa main dadu. Perlu kita ketahui, Prabu Puntadewa sejak kecil suka main dadu.


Pada suatu hari yang naas bagi Pandawa, lewat kurir Kerajaan Astina, Patih  Sengkuni mengundang Para Pandawa, ke Astina. Dengan alasan untuk memperat tali persa udaraan antara Keluarga Pandawa dan keluarga Kurawa.


Pandawapun hadir di Istana Astinapura. Pandawa lima dan Dewi Drupadi. Para Pandawa disuguhkan berbagai hidangan  bermacam macam makanan dan minuman, yang semuanya teramat lezat dengan memper gunakan resep resep baru, yang belum pernah tersentuh oleh juru masak manapun.

Selesai acara bersantap dan melihat tari tarian yang memukau dan memikat, Patih Sengkuni mengajak Prabu Punta Dewa main dadu. Prabu Punta Dewa menerima tawaran Patih Sengkuni. Pada mulanya Patih Sengkuni menawarkan taruhan sekedarnya saja. Untuk menyenangkan hati Pandawa, Patih Sengkuni yang memimpin permainan, beberapa kali memberikan kemenangan kepada para Pandawa.Pandawa merasa senang dengan permainan dadu, mereka sangat menikmati.

Akhirnya Patih Sengkuni meminta agar taruhan ditingkatkan jumlahnya.
Mula-mula Yudistira mempertaruhkan harta, namun ia kalah. Kemudian ia mempertaruhkan harta lagi, namun sekali lagi gagal. Begitu seterusnya sampai hartanya habis dipakai sebagai taruhan. Setelah hartanya habis dipakai taruhan, Yudistira mempertaruhkan prajuritnya, namun lagi-lagi ia gagal. Kemudian ia mempertaruhkan kerajaannya, namun ia kalah lagi sehingga kerajaannya lenyap ditelan dadu. Setelah tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, Yudistira mempertaruhkan adik-adiknya. Sangkuni kaget, namun ia juga sebenarnya senang. Berturut-turut Sadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima dipertaruhkan, namun mereka semua akhirnya menjadi milik Duryodana karena Yudistira kalah main dadu

Harta, istana, kerajaan, prajurit, dan saudara Yudistira akhirnya menjadi milik Duryodana. Yudistira yang tidak memiliki apa-apa lagi, nekat mempertaruhkan dirinya sendiri. Sekali lagi ia kalah sehingga dirinya harus menjadi milik Duryodana. Sangkuni yang berlidah tajam membujuk Yudistira untuk mempertaruhkan Dropadi. Karena termakan rayuan Sangkuni, Yudistira mempertaruhkan istrinya, yaitu Dewi Dropadi. Banyak yang tidak setuju dengan tindakan Yudistira, namun mereka semua membisu karena hak ada pada Yudistira.

Duryodana mengutus Widura untuk menjemput Dropadi, namun Widura menolak tindakan Duryodana yang licik tersebut. karena Widura menolak, Duryodana mengutus para pengawalnya untuk menjemput Dropadi. Namun setelah para pengawalnya tiba di tempat peristirahatan Dropadi, Dropadi menolak untuk datang ke arena judi. Setelah gagal, Duryodana menyuruh Dursasana, adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Dropadi menangis dan menjerit-jerit karena rambutnya ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul.

Dengan menangis terisak-isak, Dropadi berkata, "Sungguh saya tidak mengira kalau di Hastina kini telah kehilangan banyak orang bijak. Buktinya, di antara sekian banyak orang, tidak ada seorang pun yang melarang tindakan Dursasana yang asusila tersebut, ataukah, memang semua orang di Hastina kini telah seperti Dursasana?", ujar Dropadi kepada semua orang yang hadir di balairung. Para orangtua yang mendengar perkataan Dropadi tersebut tersayat hatinya, karena tersinggung dan malu.

Wikarna, salah satu Korawa yang masih memiliki belas kasihan kepada Dropadi, berkata, "Tuan-Tuan sekalian yang saya hormati! Karena di antara Tuan-Tuan tidak ada yang menanggapi peristiwa ini, maka perkenankanlah saya mengutarakan isi hati saya. Pertama, saya tahu bahwa Prabu Yudistira kalah bermain dadu karena terkena tipu muslihat paman Sangkuni! Kedua, karena Prabu Yudistira kalah memperteruhkan Dewi Dropadi, maka ia telah kehilangan kebebasannya. Maka dari itu, taruhan Sang Prabu yang berupa Dewi Dropadi tidak sah!"

Para hadirin yang mendengar perkataan Wikarna merasa lega hatinya. Namun, Karna tidak setuju dengan Wikarna. Karna berkata, "Hei Wikarna! Sungguh keterlaluan kau ini. Di ruangan ini banyak orang-orang yang lebih tua daripada kau! Baliau semuanya tentu tidak lebih bodoh daripada kau! Jika memang tidak sah, tentu mereka melarang. Mengapa kau berani memberi pelajaran kepada beliau semua?

Mendengar perkataan Karna, Wikarna diam dan membisu. Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh adiknya beserta istrinya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun hanya Dropadi yang menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi. Dropadi berdo'a kepada para Dewa agar dirinya diselamatkan. Sri Kresna mendengar do'a Dropadi. Secepatnya ia menolong Dropadi secara gaib. Sri Kresna mengulur kain yang dikenakan Dropadi, sementara Dursasana yang tidak mengetahuinya menarik kain yang dikenakan Dropadi. Hal tersebut menyebabkan usaha Dursasana menelanjangi Dropadi tidak berhasil. Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha.

Melihat perbuatan Dursasana yang asusila, Bima bersumpah kelak dalam Bharatayuddha ia akan merobek dada Dursasana dan meminum darahnya. Setelah bersumpah, terdengarlah lolongan anjing dan serigala, tanda bahwa malapetaka akan terjadi. Dretarastra mengetahui firasat buruk yang akan menimpa keturunannya, maka ia segera mengambil kebijaksanaan. Ia memanggil Pandawa beserta Dropadi.

Dretarastra berkata, "O Yudistira, engkau tidak bersalah. Karena itu, segala sesuatu yang menjadi milikmu, kini kukembalikan lagi kepadamu. Ma’afkanlah saudara-saudaramu yang telah berkelakuan gegabah. Sekarang, pulanglah ke Indraprastha".

Setelah mendapat pengampunan dari Dretarastra, Pandawa beserta istrinya mohon diri. Duryodana kecewa, ia menyalahkan perbuatan ayahnya yang mengembalikan harta Yudistira. Dengan berbagai dalih, Duryodana menghasut ayahnya. Karena Dretarastra berhati lemah, maka dengan mudah sekali ia dihasut, maka sekali lagi ia mengizinkan rencana jahat anaknya. Duryodana menyuruh utusan agar memanggil kembali Pandawa ke istana untuk bermain dadu. Kali ini, taruhannya adalah siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, dan setelah masa pengasingan berakhir (yaitu pada tahun ke-13), yang kalah harus menyamar selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, barulah boleh kembali ke istana.

Sebagai kaum ksatria, Pandawa tidak menolak undangan Duryodana untuk yang kedua kalinya tersebut. Sekali lagi, Pandawa kalah. Sesuai dengan perjanjian yang sah, maka Pandawa beserta istrinya mengasingkan diri ke hutan, hidup dalam masa pembuangan selama 12 tahun. Setelah itu menyamar selama satu tahun. Setelah masa penyamaran, maka para Pandawa kembali lagi ke istana untuk memperoleh kerajaannya.

Pernikahan Arjuna dengan Gandawati

Prabu Kresna dihadap oleh Patih Udawa, Satyaki dan keluarga Dwarawati. Prabu Kresna memberi tahu tentang kepergian Arjuna dari Madukara. Prabu Kresna ingin mencarinya. Perundingan selesai, kemudian bubaran. Prabu Kresna berpamitan dengan tiga isterinya yaitu Rukmini, Jembawati dan Setyaboma.
Prabu Dewasarana raja negara Tunggulmalaya, berbicara dengan sanak saudara tentang rencana pelamaran ke negara Tasikmadu. Tiga raksasa disuruh mencari letak kedudukan negara itu
Bagawan Abyasa menemui kedatangan Arjuna dipertapaan wukir Retawu. Arjuna disuruh pergi ke negara Tasikmadu yang rajanya sedang mengalami kesedihan, karena anak perempuannya dilamar oleh banyak raja. Arjuna minta pamit, lalu berangkat ke negara Tasikmadu

Prabu Gandasena raja negara Tasikmadu dihadap oleh Raden Madusadana. Raden Madusadana dan Patih Gandasaraya disuruh pergi untuk mencari perlindungan kepada kesatria yang sakti. Mereka berdua minta pamit, lalu berangkat meninggalkan kerajaan.

Raden Madusadana berjumpa dengan pasukan raksasa dari Tunggulmalaya. Terjadilah perkelahian. Raden Madusadana tidak mampu melawan perajurit Tunggulmalaya, lalu menyimpang jalan. Kemudian bertemu dengan Arjuna, lalu bercerita tentang maksud kepergiannya. Arjuna sanggup membantu, mereka kembali ke Tasikmadu.

Prabu Yudhistira didatangi Prabu Kresna. Mereka memperbincangkan kepergian Arjuna. Prabu Kresna ingin mencari, lalu meminta agar Wrekodara dan Gathotkaca mengikutinya. Mereka bertiga berangkat meninggalkan Ngamarta.
Arjuna dan Raden Madusadana menghadap Prabu Gandasena. Arjuna ditanya asal mula dan riwayat hidupnya. Raja bercerita tentang musuh yang akan datang di negara Tasikmadu. Arjuna ingin menyongsong kedatangan musuh dari Tunggulmalaya. Raden Madusadana mengikutinya.

Bathara Bayu dan Bathara Brama disuruh mencari Gandawati untuk melengkapi jumlah bidadari di Kahyangan. Bathara Bayu berujud gajah putih, Bathara Brama berwujud raksasa. Mereka turun ke marcapada bertemu dengan Arjuna. Arjuna tidak merelakan bila Gandawati ditarik ke Kahyangan. Maka terjadilah perkelahian. Gajah putih dipanah, kembali menjadi Bathara Bayu. Raksasa dipanah kembali menjadi Bathara Brama. Mereka berdua kembali ke Kahyangan. Arjuna dan Madusadana kembali ke istana. Arjuna dikawinkan dengan Dewi Gandawati.

Prabu Dewasarana, Dyah Retnawati dan perajurit Tunggulmalaya datang di negara Tasikmadu. Patih Gandasaraya memberitahu kepada raja Tasikmadu, bahwa musuh dari Tunggulmalaya sudah datang. Arjuna dan Madusadana menyongsong kedatangan musuh. Arjuna berhadapan dengan Prabu Dewasarana. Arjuna terkena senjata Trotustha, dan berubah menjadi arca batu. Madusadana lari ketakutan, kembali ke istana, memberi tahu kepada raja Tasikmadu.

Prabu Dewasarana masuk ke istana mencari Dewi Gandawati. Dewi Gandawati dikejar-kejar, lari dari keraton. Ia bertemu Prabu Kresna dan Wrekodara. Ketika ditanya ia mengaku isteri Arjuna. Prabu Kresna tahu, bahwa Dewi Gandawati dikejar-kejar Prabu Dewasarana. Dewi Gandawati disuruh kembali pura-pura menyerah kepada Prabu Dewasarana. Prabu Kresna berpesan agar Dewi Gandawati berusaha mengetahui kesaktian Prabu Dewasarana.

Wrekodara marah, lalu mencari Prabu Dewasarana. Wrekodara terkena senjata Tritustha, berubah menjadi arca batu.

Dewi Gandawati menemui Prabu Dewasarana. Prabu Dewasarana amat gembira. Sewaktu bercumbuan, raja bercerita tentang kesaktian senjata Tritustha. Bila senjata Tritustha itu dipukulkan sekali, orang akan menjadi arca batu. Bila kemudian dipulkan kembali, arca batu tersebut akan kembali menjadi orang seperti asal mula. Dewi Gandawati berhasil memegang Tritustha, lalu dihantamkan kepada Prabu Dewasarana. Prabu Dewasarana menjadi arca batu. Kemudian Dewi Gandawati memukul dua arca batu dengan Tritustha dan kembali menjadi Arjuna dan Wrekodara.

Arjuna mengajak Prabu Kresna dan Wrekodara masuk ke istana Tasikmadu. Prabu Gandasena menghormat kedatangan tamu-tamunya, dan bercerita tentang Arjuna yang telah diambil menantu. Atas persetujuan Prabu Kresna, Arjuna dinobatkan menjadi raja di Tasikmadu, bergelar Prabu Arjunawibawa.
Perajurit Prabu Dewasarana datang menyerang Tasikmadu. Gatotkaca dan Wrekodara diserahi untuk memusnahkan musuh.

Negara Tasikmadu telah aman dan damai. Para Pandhawa, Prabu Kresna dan keluarga kerajaan Tasikmadu mengadakasn pesta penobatan Prabu Arjunawibawa.

Panah Arjuna




Dalam cerita Arjuna Tapa diceritakan bahwa dalam menghadapi perang Brata Yudha, Arjuna ahli panah penengah Pandawa ini melakukan olah tapa untuk mendapatkan senjata panah. Salah satu tempat Arjuna bertapa adalah di Gunung Indrakila. Karena Arjuna dengan bertapa yang serius itulah akhirnya mendapatkan beberapa panah sakti sebagai salah satu sarana memenangkan perang dalam Brata Yudha. Karena keberhasilan dari Arjuna inilah nampaknya menjadi pendorong Raja Jayasakti mendirikan Pura Indrakila. Dengan kesaktian hasil dari olah tapa itulah yang akan membawa kemenangan sang raja dalam memimpin negara kerajaan.

Menang dalam bahasa Sansekerta disebut Jaya. Karena saktilah raja mencapai kemenangannya. Kata ”sakti” saat itu tentunya tidak seperti pengertian dewasa ini. Saat ini kata ”sakti” berkonotasi negatif karena dikaitkan dengan ilmu hitam. Pengertian ”sakti” menurut keterangan Wrehaspati Tattwa 14 dalam keterangan yang berbahasa Jawa Kuno berkonotasi positif.

Dalam Wrehaspati tersebut dinyatakan: Sakti ngarania ikang sarwajnyana lawan sarwa karya. Artinya: Sakti namanya banyak ilmu dan banyak bekerja. Ilmu di sini berarti ilmu kerohanian dan ilmu keduniaan, atau Para Widya dan Apara Widya. Dua ilmu itu dilahirkan dari Weda oleh para Resi. Karena itulah Weda itu disebut Weda Mata artinya Ibu Weda. Mantra Weda itu adalah Sabda Tuhan.

Kesaktian yang seperti pengertian Wrehaspati Tattwa inilah yang dicari oleh Arjuna di Gunung Indrakila. Demikian juga oleh sang Raja Jaya Sakti di Pura Indrakila. Dalam cerita Arjuna Tapa itu diceritakan Arjuna bertapa sangat khusyuk. Karena khusyuknya Arjuna mendapatkan kesaktian berupa daya tahan tidak mudah tergoda oleh hawa nafsu. Arjuna pun digoda oleh para bidadari yang amat cantik-cantik. Tetapi Arjuna sama sekali tidak tergoda oleh kecantikan para Bidadari dari Kahyangan tersebut.

Selanjutnya Arjuna mendapatkan godaan yang lebih hebat lagi. Arjuna diserang oleh babi raksasa yang amat ganas. Untuk menumpas godaan babi raksasa itu Arjuna memerangi babi tersebut dengan mengarahkan panah saktinya. Di luar dugaan ada seorang pemburu muda juga mengarahkan panah-panahnya pada babi raksasa tersebut. Babi tersebut pun mati kena panah.

Anehnya panah Arjuna dan panah pemburu muda tersebut bersatu menancap di tubuh babi raksasa tersebut. Pemburu tersebut menyatakan bahwa panah yang menancap itu adalah miliknya dan menyatakan bahwa dialah yang membunuh babi tersebut. Sebaliknya Arjuna juga bersikukuh bahwa panah yang membunuh babi tersebut adalah miliknya. Arjuna dan pemburu tersebut pun perang tanding. Pada awalnya keduanya sama-sama kuat. Namun saat Arjuna akan mengakhiri pertempuran tersebut dengan membunuh pemburu muda itu, dalam sekejap saja pemburu itu berubah menjadi Dewa Indra.

Arjuna baru sadar bahwa yang menjadi pemburu itu adalah Dewa Indra untuk menguji ketangguhan Arjuna. Karena Dewa Indra nyata menampakkan diri, maka Arjuna pun menyembah Dewa Indra dengan takjimnya. Cerita Arjuna Tapa ini amatlah populer di Bali, karena sering dipentaskan dalam berbagai seni pentas. Ada lewat seni drama tari, ada lewat seni pewayangan ada lewat seni lukis ada juga lewat seni sastra, dll.

Sesungguhnya cerita Arjuna Tapa itu adalah pentas ajaran Tapa Brata lewat seni sastra kawya yang penuh dengan simbol yang mengandung nilai-nilai filosofi kehidupan di dunia ini. Bersatunya panah Arjuna dengan panah Dewa Indra adalah simbol suatu keberhasilan Tapa Brata untuk menyatukan pikiran dengan kehendak Dewata. Sedangkan babi raksasa itu adalah simbol Guna Tamas yang sering membawa manusia hidup loba dan angkara murka. Guna Tamas itu dapat ditundukkan oleh pikiran suci yang sudah menyatu dengan kehendak Dewata. Demikian juga godaan para bidadari itu tiada lain adalah simbol godaan hawa nafsu.

Menguasai semuanya itulah tujuan dari suatu Tapa Brata. Intinya Arjuna sebagai seorang kesatria baru akan dapat melakukan tugas-tugasnya apabila dia telah dapat mawas diri dan memiliki ketetapan hati, sehingga tidak mudah goyah dalam melindungi rakyat dari kehidupan yang sangsara. Karena tugas-tugas kenegaraan bukanlah hal yang mudah begitu saja dilakukan tanpa memiliki kekuatan moral dan mental serta ilmu pengetahuan yang memadai.

Hal inilah yang nampaknya disadari oleh Raja Jayasaksi sehingga mendirikan Pura Indrakila. Di samping untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Purusa, juga bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan yang berada di balik cerita Arjuna Tapa. Karena dengan datang untuk berbakti ke Pura Indrakila umat akan dapat menyerap terus nilai-nilai suci dari cerita Arjuna Tapa tersebut.

Dalam Manawa Dharmasastra 1.89 ada dinyatakan bahwa kewajiban kesatria adalah menciptakan rasa aman (Raksanam) dan sejahtera (Danam) untuk rakyat. Di samping itu mempelajari kitab suci Weda melangsungkan upacara yadnya dan terus-menerus berusaha menguasai dirinya dari ikatan-ikatan indria atau hawa nafsunya.

Dalam Manawa Dharmasastra tersebut upaya menguasai hawa nafsu itu dinyatakan wisayeswaprasaktatis yang artinya terus-menerus berusaha menguasai hawa nafsu yang disebut wisaya. Karena seorang kesatria setiap hari selalu berkecimpung dengan hal-hal yang bersifat duniawi. Agar jangan hal-hal duniawi itu menjadi negatif, maka setiap hari juga seorang kesatria harus tidak pernah lupa melakukan kegiatan yang memiliki dimensi menguasai gejolak hawa nafsu.

Ibarat seorang kusir kereta setiap saat memegang tali kekang kuda untuk mengarahkan kudanya saat berjalan, sehingga kereta pun akan dapat dibawa sampai ke tujuan. Kalau lengah kuda hawa hawa nafsu itulah yang akan menggelincirkan diri sang kesatria ke arah yang tidak benar. Inilah yang mungkin diinginkan oleh sang Raja Jayasakti sehingga membangun Pura Indrakila.

Kalau fungsi Pura Indrakila tersebut kita perhatikan maka sampai kapan pun akan tetap fungsi pura itu relevan dengan kebutuhan zaman. Apalagi pada zaman post modern ini semakin dibutuhkan sesungguhnya upaya para pemimpin untuk menguasai dirinya agar tidak terjebak pada pengumbaran hawa nafsu yang akhirnya akan membahayakan rakyat.

Wisanggeni Lahir

 Kahyangan Setragandamayit, adalah suatu tempat yang menyeramkan. Disini tempat tinggal berbagai mahluk halus dan siluman. Batari Durga,demikian nama yang mbahu reksa tempat ini, adalah ratunya para ratu makhluk halus dan siluman.

Batari Durga, sebelumnya adalah Batari Uma yang berwajah raseksi, istri Batara Guru, yang kemudian bertukar raga dengan Dewi Permoni. Dewi Permoni adalah  seorang gadis cantik yang waktu itu sedang bertapa,de ngan harapan dapat bersuami dengan  seorang dewa.

Batara Guru memenuhi permintaan Dewi Permoni, untuk memperistrinya, tetapi hanya raganya saja, sedangkan sukma nya akan menempati raga baru, yang kemudian akan dikawin kan dengan salah satu keturunan dewa.

Dewi Permoni menyanggupi  apa yang diminta Batara Guru. Setelah ada kesanggupan dari Dewi Permoni, maka Dewi Permoni duduk berhadap hadapan dengan Dewi Uma, kemudian keduanya saling bertukar sukma. Padahal dewi Uma yang berwajah raseksi itu dalam keadaan  hamil. Mereka telah bertukar sukma.  Dewi Uma, menempati raga baru, raga Dewi Permoni yang cantik. Sedangkan Dewi Permoni menempati raga baru pula, seorang raseksi yang menakutkan, lagi pula sedang hamil. Dewi Permoni kemudian dikawinkan dengan Batara Kala.

Setelah dikawinkan dengan Batara Kala, Dewi Permoni mendapat gelar Batari Durga dan menjadi ratu di Setragandamayit. Sedangkan  anak yang dikandungnya, setelah lahir menjadi anak Batari Durga dengan Batara Kala, anak inilah yang bernama Dewasrani. Bagi Batara Kala, anak ini juga merupakan adiknya,karena ayah kandung bayi adalah Batara Guru.

Kali ini  Batara Kala,menjadi gelisah, ketika diberi tahu oleh istrinya, Batari Durga, bahwa anaknya, yang juga adiknya,  Batara Dewasrani, ingin beristrikan Dewi Dresanala. Padahal Dewi Dresanala sudah menjadi istri Arjuna, dan sudah hamil tua, yang sekarang sudah saatnya mau melahirkan.

Batara Kala, yang tidak pernah mau  berurusan dengan siapa pun, menyerahkan permasalahan Dewasrani  kepada Batari Durga. Batari Durga, semula juga menolak permintaan Dewasrani, karena Dewi Dresanala, sudah bersuamikan Arjuna.  Karena desakan yang terus menerus dari Dewasrani, maka  Batari Durgapun terpaksa menuruti kehendak puteranya Dewasrani untuk memperistri Dewi Dresanala. Mereka pun berangkat ke Kahyangan Jonggringsaloka, menemui Batara Guru.

Sesampai di Kahyangan Jonggringsaloka, mereka meng hadapi Gerbang Selamatangkep yang dijaga Batara Cingkarabala dan Batara Balaupata. Mereka harap harap cemas, apakah pintu Gerbang Selamatangkep akan membuka atau akan menutup selamanya. Mereka merasa senang ketika melihat pintu Gerbang Selamatangkep telah membuka dengan sendirinya, berarti kedatangan mereka diterima oleh Batara Guru. Mereka cepat cepat memasuki Gerbang Selamatangkep, takut kalau pintunya menutup lagi.

Mereka menghadap  Batara Guru. Batara Guru menanya kan maksud dan tujuannya datang menemuinya. Batari Durga, mengatakan bahwa ia sampai kekahyangan Jonggring saloka, karena berat beratnya ditangisi anak. Kedatangan mereka berdua meminta restu  Batara Guru, agar Batara Dewasrani dikawinkan dengan Dewi Dresanala. Mengenai Dresanala  yang sudah bersuamikan Arjuna , adalah bukan halangan lagi. Mereka meminta agar Dewi Dresanala dipisahkan dari Arjuna, bagaimanapun caranya. Karena setelah berpisah dengan Arjuna,maka dengan mudah Dewi Dresanala akan dikawinkan dengan Batara Dewasrani.

Batara Guru tentu saja menyetujui permintaan Batari Durga.Terlebih lebih Dewasrani adalah anak kesayangan Batara Guru.

Batara Guru memanggil puteranya Batara Brahma, Batara Brahma diperintahkan untuk memisahkan puterinya Dresanala dari Arjuna, dan mengusir Arjuna dari Kaindran.

Batara Brahma menuruti perintah ayahnya.Ia segera menuju Kaindran. Di Kaindran, Batara Brahma tertegun, ketika melihat, di kamar Dewi Dresanala, puterinya, dewi Dresanala tergolek lemah di tempat tidur dan ditunggui oleh seorang tabib wanita. Kelihatannya Dewi Dresanala, sedang menyiapkan persalinan. Sedangkan Arjuna menunggui istrinya Dresanala. Tiba tiba saja, Batara Brahma, masuk kedalam kamar dan menarik tangan Arjuna. Batara Brahma  membawa keluar Arjuna  dari kamar anaknya. Arjuna didorong, sehingga jatuh kelantai. Arjuna disuruhnya keluar dari Kahyangan, dan disuruhnya pulang ke marcapada, karena kesempatan menjadi raja bidadari telah habis. Mengenai hubungan dengan Dewi Dresanala, telah selesai saat ini dan tidak ada kesempatan lagi menemui Dresanala, ataupun siapa saja yang ada di Kahyangan. Arjuna tidak mau menyerah. Ia bertahan sampai dengan lahir puteranya. Mendengar keteguhan Arjuna yang tetap ingin menunggui puterinya, Dewi Dresanala sampai melahirkan, Arjuna dihajarnya habis habisan. Sementara itu Batara Indra yang menguasai Kahyangan Kaindran, melihat kejadian itu tidak menerima perlakuan Batara Brahma. Maka terjadilah perkelahian antara kedua bersaudara itu. Keduanya sama sama kuat. Sementara itu para dewa yang disuruh Batara Guru menyerang Arjuna. Arjuna tidak ingin membuat keributan, maka iapun meninggalkan kahyangan Jonggringsaloka, dan turun ke marcapada.

Batara Narada sebenarnya tidak sependapat dengan tindakan Batara Guru, yang bermaksud memisahkan Arjuna dari Dewi Dresanala. Kali ini Batara Narada sangat kecewa pada Batara Guru, yang bertindak sepihak. tidak meminta pendapat pada Batara Narada, selaku penasehat Batara Guru. Sementara itu di Gunung Candradimuka, nampak para Dewa sedang berkumpul. Bayi Arjuna yang baru dilahirkan, ternyata sedang di ajar berramai ramai oleh para dewa. Mereka seperti bermain bola saja. Bayi itu disepak sepak dan di injak injak. Kemudian oleh Batara Brahma, bayi itu diambilnya, dan dimasukkan kedalam kawah Candradimuka. Dari jarak yang agak berjauhan. Nampak Batara Narada mengejar Batara Brahma yang sedang melempar bayi. Ternyata usaha Batara Narada, untuk menyelamatkan bayi itu terlambat. Bayi putera Arjuna telah masuk kedalam Kawah Candradimuka. Batara Narada memarahi para putera dewa, yang berbuat jahat pada bayi yang tidak berdosa. Para dewa pun bubar meninggalkan Batara Narada seorang diri.  Batara Narada berusaha menolong bayi itu. Ia menaiki Gunung Candradimuka, dan menuruni kawahnya. Sesampai ditepi kawah, ia melihat sang bayi kelihatan hancur menyatu dengan  lahar yang teramat panas, yang menggelegak dan mendidih, seperti seekor semut jatuh didalam godogan gula aren yang teramat panas. Namun ajaib, sebentar kemudian, seorang anak telah merangkak keluar dari kawah. Tubuh anak itu menyala nyala, terbakar api..Tiba tiba anak itu menghajar Batara Narada. Sang bayi mengira yang memasukkan kedalam kawah adalah Batara Narada. Batara Narada dapat meredam kemarahan bocah itu, dengan mengangkat bocah itu keluar dari kawah dan turun dari gunung Candradimuka.. Batara Narada memberikan nama Wisanggeni. Wisanggeni menanyakan pada Batara Narada, siapakah dirinya dan siapa nama kedua orang tuanya. Batara Narada menerangkan bahwa nama ayahnya Arjuna satriya Madukara, sedangkan ibunya bernama Dresanala. Ibunya adalah bidadari yang bernama Dewi Dresanala, Batara Narada menyuruh Wisanggeni untuk menanyakan dimana ayah dan ibunya kepada para dewa, kalau para dewa tidak tahu, disuruhnya Wisanggeni menghajarnya.

Wisanggeni pun mendatangi para dewa. Wisanggeni menanyakan dimana ayah dan ibunya.  Tidak ada satupun dewa, yang mau memberi tahu, dimana keberadaan kedua orang tua Wisanggeni. Wisanggeni menjadi marah, para dewa semua dihajarnya, tidak kecuali Batara Guru. Melihat Batara Guru dihajar oleh Wisanggeni, Batara Narada mendatanginya, dan meminta Wisanggeni untuk menghentikan kemarahannya pada Batara Guru. Batara Narada menanyakan asal mula terjadinya geger di kahyangan kepada Batara Guru. Batara Guru memberi tahu kalau Dresanala dibawa Dewasrani kekahyangan Setragandamayit, untuk djadikan istrinya. Sedangkan Arjuna sudah diusir dari Kaindran. Semua ini terjadi karena permintaan Batari Durga, yang membantu keinginan Dewasrani  untuk memperistri Dresanala.
Mendengar itu, Batara Narada meminta kepada Batara Guru agar membatalkan perkawinan Dewasrani dengan Dresanala.  Karena Dresanala adalah masih  istri Arjuna. Batara Guru merasa bersalah. Batara Guru meminta kepada Batara Narada dan Wisanggeni untuk segera mengambil kembali Dewi Dresanala, yang sekarang sudah dibawa oleh Dewasrani kekahyangan Setra gandamayit.

Batara Narada berpamitan kepada Batara Guru, untuk mengantar Wisanggeni ke marcapada, menemui ayah. Wisanggani.

Sesampai di Marcapada, Batara Narada dan Wisanggeni mencari Arjuna. Mereka bertemu Arjuna di tengah hutan. Arjuna sedang melakukan tapa brata untuk minta anugrah dewata, agar bisa  berkumpul kembali dengan Dewi Dresanala dan anaknya. Para punakawan segera membangunkan tapa Arjuna, ketika dilihatnya Batara Narada membawa seorang bocah yang sedang mencari ayahnya.

Arjuna bangun dari tapanya. Arjuna menyambut kedatang an Batara Narada. Arjuna menangis, dan merasa senang apabila kedatangan Batara Narada akan mencabut nyawa Arjuna, karena sudah tidak tahan menerima penderitaan  yang begitu berat. Ia diusir dari Kahyangan, dan harus berpisah dengan anak istrinya.

Batara Narada ikut merasakan kesedihannya.Kemudian Batara Narada menjelaaskan, bahwa kejadian itu akibat permintaan Batari Durga kepada Batara Guru, agar memisahkan Dewi Dresanala dari Arjuna, yang kemudian akan dikawinkan dengan Dewasrani. Mendengar itu Arjuna menjadi marah. Namun Arjuna merasa bahagia, setelah diberitahu Batara Narada, bahwa bocah berwarna api menyala, itu anaknya dengan Dewi Dresanala.

Batara Narada, kemudian memberitahu, bahwa Dewi Dresanala, sudah tidak berada lagi di Kahyangan, akan tetapi, sudah dibawa Dewasrani ke Kahyangan Setragandamayit. Setelah menyampaikan pesan pesan kepada Arjuna. Batara Narada pun berpamitan kembali ke Kahyangan.

Arjuna disertai Semar berangkat ke Kahyangan setragan damayit, dan Wisanggeni  putera Arjuna pun tak keting galan ia mengikuti kepergian ayahnya. Sesampai di Setra gandamayit, terjadi perkelahian hebat antara Arjuna dan Dewasrani. Sedangkan Semar berkelahi dengan Batari Durga.Namun kedua jago kita merasa tidak mampu dengan kekuatan Dewasrani dan Batari Durga. Melihat kekalahan ayah dan pamongnya, tiba tiba saja anak Arjuna, Wisanggeni, ikut tandang gawe, Wisanggeni, yang mempunyai kekuatan api di ujung lidahnya, bagaikan seekor naga, yang menyemburkan api apinya kepada kedua lawannya, yang membuat kedua lawannya terbakar api. Mereka melarikan diri dari istana Setragandamayit. Akhirnya Arjuna membebaskan Dresanala dari tawanan  Dewasrani. Kemudian Dewi Dresanala pun dibawa Arjuna ke Madukara, bersama puteranya, Wisanggeni. Wisang geni bahagia hidup bersama dengan ayah bundanya. Semar pun ikut merasakan kebahagiaan mereka.

Dalam cerita Begawan Mintaraga, Arjuna di wiwaha menjadi Raja Kaindran dan bergelar Prabu Karitin. Dewi Supraba menjadi istrinya, dan mendapatkan putera bernama Prabakusuma.. Setelah Wisanggeni dewasa. mempunyuai istri bernama Dewi Mustikawati, puteri Prabu Mustikadarma raja negeri Sonyadarma.

Selasa, 27 Mei 2014

Narasoma

Surya memancar menghangatkan bumi pertanda pagi mulai terang benderang. Sepi lengang di pertapaan Argabelah tidak ada lagi canda tawa dara jelita penghuni kuil, tidak ada lagi senandung syahdu ditepian telaga kecil yang berhias bunga-bunga padma, begitu pun alunan doa rajaresi tidak lagi mengumandang. Argabelah menjadi tempat mati berselimut belukar setelah sepeninggalnya Resi Bagaspati. Satu-satunya ahli waris sang resi telah diboyong oleh putra mahkota Mandaraka. Demikian pengorbanan Bagaspati sebagai seorang ayah, ia rela mengorbankan apa saja yang menjadi milikinya, sekalipun nyawa yang harus ia berikan, asalkan sang putri bisa berlayar menempuh harapan kebahagiaan.

Narasoma dan Pujawati telah menetap di Mandaraka, kehadiran mereka disambut hangat oleh keluarga Prabu Mandrapati. Pujawati sangat bersuka cita, kini ia memiliki tempat dan kawan bermain yang baru, hidup di lingkungan istana yang megah, dilayani oleh dayang-dayang yang setia menemani. Dewi Tejawati ibu mertuanya, dan Dewi Madrim adik iparnya sangat menyayanginya, mereka selalu menghibur disaat Pujawati sedih teringat mendiang bopo resi.

Pada suatu hari di Paseban Agung istana Mandaraka, Prabu Mandrapati memanggil Narasoma. Tidak ada orang lain selain mereka berdua, seakan ada rahasia penting yang hendak disampaikan sang prabu kepada putranya.

"Narasoma, saat ini Prabu Basukunti, raja negara Mandura bermaksud ingin menikahkan putrinya, namun ia menginginkan seorang kesatria yang cakap dan tangguh untuk dijadikan menantu, maka dari itu ia berencana akan menggelar sayembara. Kepada siapa saja yang dapat memenangkan sayembara, Prabu Basukunti akan menganugerahkan Kunti Nalibrata.
Seperti yang ananda tahu, bahwa Mandaraka dan Mandura masih kerabat baik, dalam darah kita mengalir juga darah mereka, darah bangsa Yadawa. Untuk itu ayahanda ingin ananda mengikuti sayembara agar jalinan kekerabatan kita menjadi semakin kukuh. Ayahanda percaya, ananda akan dapat memenangkannya. Kecakapan dan keperkasaan ananda sebagai putra mahkota Mandaraka akan dihormati dan disegani oleh raja-raja mancanegara."

Narasoma tertegun mendengar keinginan ayahandanya. Ia jadi gelisah dan bingung, sebab jika ia mengikuti sayembara dan memenangkannya, maka Dewi Kunti akan menjadi istrinya, sedangkan ia sangat mencintai Pujawati. Apalagi ia sudah berjanji tidak akan menikahi wanita lain selain Pujawati, tetapi jika keinginan ayahandanya tidak dituruti tentu ia akan mendapat kemurkaan dari ayahandanya. Dalam keadaan bingung itu, Narasoma mencoba menjelaskan kepada ayahandanya.

"Ampun ayahanda prabu, sesungguhnya ananda telah berjanji untuk tidak menghianati Pujawati. Bahkan, di hadapan bopo Resi Bagaspati, ananda telah mengangkat sumpah tidak akan menduakan Pujawati, apalagi menyakiti hatinya. Sebagai seorang kesatria, ananda tidak mugkin menjilat ludah sendiri. Maka dari itu, bukannya ananda menolak mengikuti sayembara, akan tetapi ananda hanya tidak ingin menduakan Pujawati dengan siapapun."

Prabu Mandrapati mencoba membujuk agar putranya mau mengikuti sayembara, tetapi Narasoma selalu menolak secara halus dan berdalih, membuat Prabu Mandrapati marah karena Narasoma dianggap tidak memiliki bakti kepada orang tua, tidak bisa menyenangkan hati orang tua. Prabu Mandrapati merasa sangat terpukul hingga menderita sakit. Sejak peristiwa itu Prabu Mandrapati jarang tampil di paseban agung kerajaan, membuat para pembesar dan punggawa istana menjadi khawatir, terlebih keluarga kerajaan sangat prihatin dengan keadaan sang prabu. Dewi Tejawati, istri sang prabu sangat iba melihat suaminya terbaring lemah di pembaringan, begitu juga Dewi Madrim yang selalu menangis di samping ayahandanya, sedangkan Pujawati sendiri sangat tekun mengurusi ayah mertuanya, membantu tabib-tabib istana yang mencoba memberi pengobatan.

Narasoma hanya bisa tertunduk di samping pembaringan ayahandanya. Sebenarnya ia sangat sayang terhadap keluarga, kepada ayahanda, ibunda, adik dan istrinya. Dan ketika sakit ayahandanya tidak juga kunjung sembuh, maka Narasoma memutuskan untuk memenuhi keinginan ayahandanya. Ia berbisik kepada sang ayah, berjanji dan meminta restu untuk mengikuti sayembara. Hanya kepada Pujawati, Narasoma beralasan ingin mencari tabib sakti untuk mengobati ayahanda. Ia segera berangkat menuju negeri Mandura.  

Mandura (Mathura)
Dewi Kunti Nalibrata (Dewi Prita) sebenarnya adalah anak angkat Prabu Basukunti, ia anak dari  Raja Surasena yang juga berbangsa Yadawa, yang berarti masih kerabat dekat Prabu Basukunti sendiri. Dewi Kunti diangkat anak oleh Prabu Basukunti sejak masih bayi, pada saat itu Prabu Basukunti sendiri telah memiliki seorang putra yang bernama Basudewa, namun kemudian setelah ia diberi seorang anak perempuan oleh kerabatnya, dari istrinya, Dewi Dayita putri Raja Boja, Prabu Basukunti dikaruniai seorang putra lagi, bernama Ugrasena.

Alkisah, sebenarnya sayembara yang digelar oleh Prabu Basukunti tidak lain adalah untuk menutupi aib yang telah menjadi rahasia keluarga istana. Diceritakan bahwa, Dewi Kunti (Prita) telah mengalami peristiwa yang menggegerkan keluarga istana Mandura. Kisahnya berawal saat negeri Mandura kedatangan seorang pertapa sakti bernama Resi Druwasa dari pertapaan Jagadwitana. Prabu Basukunti memberi tempat kepada sang resi, dan mengangkatnya sebagai danghyang ajarya (guru) bagi putra-putrinya.

Di istana Mandura, Resi Druwasa sangat terkesan dengan prilaku dan pelayanan Dewi Kunti. Sang dewi sangat santun dan patuh, berbudi pekerti baik, sangat menghormati hidup orang lain, apalagi kepada orang tua dan gurunya. Karena rasa sayangnya itulah Resi Druwasa menganugerahi japa mantra sakti Adityarhedaya kepada kunti Nalibrata, yang mana kegunaan mantra tersebut adalah untuk memanggil dewa-dewi kahyangan, sesuai yang dikehendaki.
Dikisahkan pula, setelah Dewi Kunti menerima japa mantra dari Resi Druwasa, ketika ia sedang menyendiri di kaputren, ia sangat penasaran dengan mantra sang resi, walau gurunya telah memberi amanat bahwa mantra tersebut hanya dipergunakan jika benar-benar dibutuhkan. Tetapi, sebagai seorang dara yang belum cukup dewasa dan matang, rasa penasaran itu sangat menggoda dirinya untuk mencoba mantra tersebut.

Ketika itu Dewi Kunti sedang menyendiri di taman Batachinawi, taman indah berhias seribu bunga. Diantara hangatnya dekapan sinar mentari pagi dan semilirnya angin yang berhembus, Dewi Kunti melantunkan mantra-mantra Adityarhedaya. Seketika ia terkejut melihat taman kaputren menjadi terang benderang bertaburan cahaya. Di hadapannya telah berdiri sosok Batara Surya dengan menggunakan mahkota yang bergemerlapan.

"Apa yang kau inginkan dariku, dewi?"

Dewi Kunti terpesona melihat keelokan Batara Surya.

"Hamba hanya mencoba mantra dari guru hamba, Resi Druwasa..."

"Tapi kau telah membacakannya ketika hangat mentari menyinari tubuhmu."

Sejak saat itu, tidak ada lagi kata-kata terucap dari dua insan yang telah sama-sama terpaut hati, menyelami samudra hati diantara mereka. Dari kejadian itulah, hingga akhirnya Dewi Kunti berbadan dua, hamil. Dewi Kunti hamil diluar pernikahan, membuat seluruh keluarga istana Mandura menjadi bingung, lebih-lebih Prabu Basukunti yang marah karena merasa malu. Apa yang akan dikatakan oleh rakyat negerinya, juga raja-raja sahabat mancanegara, jika kehamilan putrinya yang tanpa suami itu tersiar. Resi Druwasa sangat prihatin, tetapi juga merasa sangat bertanggungjawab atas peristiwa tersebut. Bagaimanapun, Kunti adalah muridnya, dan ia juga yang telah memberikan mantra sakti kepadanya.

Untuk menjaga nama baik keluarga kerajaan, maka dengan kesaktiannya, ketika tiba waktunya Dewi Kunti akan melahirkan putra pertamanya dari Batara Surya, Resi Druwasa mengeluarkan jabang bayi Kunti melalui telinga sebelah kiri. Hal tersebut dimaksudkan agar keperawanan Kunti tetap terjaga.

Setelah putra Surya terlahir, Prabu Basukunti memerintahkan sang dewi membuang bayi tersebut. Dengan perasaan sedih dan berat hati, Dewi Kunti menuruti kehendak ayahandanya. Ia membuang putranya yang telah diberinama Basukarna (karena ia terlahir melalui telinga). Bayi elok yang telah memiliki pusaka pembawaan sejak lahir berupa baju Tamsir Kerei Kaswargan dan anting mustika sakti Pucunggul Maniking Surya itu akhirnya dilarung (dihanyutkan) ke sungai Gangga. Kelak Basukarna ditemukan oleh Adhirata, kusir kerajaan Hastinapura.

Salimbara (Sayembara)
Negeri Mandura telah ramai dikunjungi oleh para kesatria, putra mahkota, dan raja-raja dari seluruh  mancanegara. Pada waktu itu, setiap harinya alun-alun negeri Mandura dipadati oleh rakyat bangsa Yadawa yang ingin menyaksikan jalannya sayembara. Rakyat Mandura ingin menyaksikan sendiri ketangguhan kesatria yang akan memboyong putri sekar kedaton, dewi Kunti Nalibrata.

Singkat cerita, satu persatu para kesatria dan raja-raja mancanegara yang telah menjadi peserta sayembara mencoba memanah seekor burung yang berada dalam sangkar besi. Bentuk sayembara yang diselenggarakan oleh Prabu Basukunti adalah memanah seekor burung yang berada dalam sangkar besi yang diputar sangat kencang. Barang siapa yang mampu memanah burung di dalam sangkar yang berputar, maka dialah yang akan memenangkan sayembara. Satu persatu anak-anak panah yang dilepaskan para peserta sayembara luruh berjatuhan. Panah-panah mereka tidak mampu menembus seekor burung di dalam sangkarnya, sebab jari-jari sangkar besi yang berputar sangat cepat menjadi perisai ketika anak-anak panah itu mencoba menyusup pada celah-celahnya.

Kegagalan para peserta sayembara sempat membuat peserta lainnya menjadi putus asa, beberapa diantara mereka mengundurkan diri, ada yang langsung pulang kembali ke negara mereka, dan ada pula yang masih penasaran ingin ikut menyaksikan tuntasnya sayembara. Baik keluarga raja ataupun rakyat Mandura berharap ada satu diantara mereka yang mampu memenangkan sayembara, tapi lagi-lagi gagal. Telah beberapa hari sayembara digelar, namun belum juga ada peserta sayembara yang memenangkan pertandingan. Hingga tiba giliran peserta terakhir maju ke arena pertandingan, ia tidak lain adalah Narasoma dari Mandaraka. Narasoma mengangkat busur panahnya, mengarah pada sangkar besi yang terletak berjarak puluhan tumbak di hadapannya. Semua yang hadir bertanya-tanya dalam hati mereka, akankah anak panah itu bernasib serupa dengan anak-anak panah sebelumnya yang telah dilepaskan para kesatria tanding sebelumnya? Mampukah Narasoma melakukannya?

Narasoma melepas anak panah dari busurnya tatkala sangkar besi berputar sangat kencang. Ribuan mata masih menatap sangkar yang berputar, yang berangsur-angsur putarannya menjadi pelan. Serentak sorak sorai meriuh, menyoraki kemenangan putra mahkota Mandaraka. Panah Narasoma menembus seekor burung yang berada tepat di dalam sangkarnya. Prabu Basukunti beserta keluarga kerajaan sangat gembira, karena pada akhirnya ada seorang kesatria yang mampu memenangkan sayembara.

Narasoma dielu-lukan oleh rakyat Mandura, ibarat seorang pahlawan perang yang telah memenangkan pertempuran di medan perang. Setelah semuanya mereda menahan kegirangan, Narasoma lalu menghadap Prabu Basukunti di pelataran panggung sayembara, tapi tiba-tiba dari kerumunan penonton sayembara datang tiga orang satria menuju pelataran sayembara, salah satu dari mereka menyatakan ingin mengikuti sayembara. Membuat Prabu Basukunti menanyakan jatidiri mereka.

"Siapa gerangan kisanak bertiga? Berasal dari manakah?"

"Perkenalkan, nama hamba Pandu Dewanata. Ini kakak hamba, kanda Destarata, dan adik hamba Widura. Kami putra Praburesi Abyasa dari negeri Hastinapura. Kedatangan kami tidak lain adalah ingin mengikuti Sayembara Kunti Nalibrata."

Prabu Basukunti tertegun setelah mengetahui siapa ketiga satria tersebut.
"Oh!.. ternyata kalian dari wangsa Kuru, datang dari jauh ingin mengikuti sayembara. Sungguh sangat disayangkan kedatangan kalian terlambat. Ketahuilah Pandu, sayembara Kunti Nalibrata baru saja usai, dan sayembara telah dimenangkan oleh Narasoma, putra mahkota Mandaraka."

Para putra Hastina tertunduk setelah mendengar sayembar ditutup karena sudah ada pemenangnya. Kedatangan mereka ternyata terlambat, namun saat ketiganya hendak pamit meninggalakan tempat, tiba-tiba Narasoma menahannya.

"Jika paduka berkenan, biarkan mereka diberi kesempatan untuk mengikuti sayembara."


Narasoma meminta Prabu Basukunti mengulang kembali sayembara. Dalam pikiran Narasoma, ini adalah kesempatan baik untuk menguji ketangguhan putra-putra Hastina. Bukanlah Wangsa Kuru telah tersohor keberbagai negara Mancanegara? Secara turun temurun wangsa itu telah disegani kawan dan ditakuti lawan, tapi itu leluhur mereka yang terdahulu, dan ia hanya mendengar cerita. Dan sekarang, apakah ketiga kesatria Hastina itu setangguh para pendahulunya. Ini adalah waktu yang tepat untuk menguji kemampuan mereka, apakah mereka memiliki kemampuan melakukan hal yang sama dengan dirinya? Kesatria dan raja-raja mancanegara sendiri tidak ada yang sanggup melakukannya. Begitulah yang ada dalam pikiran Narasoma, ia hendak bermaksud mempermalukan para kesatria Kuru. Narasoma pun nampak kesombongannya setelah dielu-elukan, ia sangat suka dipuji.

"Apa maksudmu Narasoma? Kau yang telah memenangkan sayembara, dan aku tidak mungkin merubah peraturan!"

"Kalau begitu, biar hamba yang membuka sayembara baru untuk mereka. Karena Kunti Nalibrata telah menjadi hak hamba, maka hamba berhak membuat keputusan atas Kunti."

Prabu Basukunti sangat tersinggung dengan perkataan Narasoma, walau memang betul Kunti Nalibrata telah menjadi haknya karena telah memenangkan sayembara, tetapi Narasoma dianggap tidak menghargai orang lain, bahkan menghormatinya sebagai raja Mandura, sekaligus bakal menjadi mertuanya. Tapi mengingat Narasoma adalah putra Prabu Mandrapati yang menjadi sahabatnya sekaligus masih memiliki hubungan kekerabatan darah Yadawa, maka Prabu basukunti mencoba menahan diri, membiarkan Narasoma melakukan kemauannya. Toh, segala kesombongan tidak akan berakhir baik.

"Aku memberi kesempatan padamu untuk mengikuti sayembara, tapi dengan satu pertaruhan, jika kau mampu melakukan apa yang telah aku lakukan pada sayembara tadi, maka Kunti Nalibrata akan aku serahkan padamu, tapi jika kau tidak mampu melakukannya, maka negeri Hastina menjadi negeri taklukan Mandaraka."

Semua yang hadir terkejut mendengar perkataan Narasoma, termasuk Prabu Basukunti. Tetapi  para kesatria Kuru masih bersikap tenang, mereka seolah tidak terpengaruh oleh tantangan Narasoma.

"Kedatang kami ke Mandura hanya ingin mengikuti sayembara yang digelar oleh Prabu Basukunti. Adapun sang prabu telah menutup sayembara karena kau telah memenangkannya, maka kami pun akan turut undur diri, kami tidak menginginkan hal lain yang akan menimbulkan perkara."

Pandu Dewanata lalu memberi hormat kepada Prabu Basukunti dan mengajak kedua saudaranya beranjak pergi meninggalkan Mandura, tapi Narasoma malah mengejeknya.

"Apa kau takut menghadapi tantangan, Pandu? Bukankah kalian putra-putra Hastina yang tersohor itu? Aku kira kau memiliki sifat gagah berani seperti leluhurmu, Baharata. Apakah kesatria terhormat seperti Bhisma Dewabrata tidak mengajarimu keberanian sebagai seorang kesatria? atau ayahmu tidak membekalimu?

Kata-kata Narasoma sangat merendahkan di depan khalayak ramai, membuat telinga Pandu menjadi panas. Terlebih Destarata, kakak Pandu yang tunanetra itu giginya gemeretakan menahan marah. Diam-diam Destarata merapal aji Kumbalageni, namun Widura membisikinya, agar sang kakak bisa menahan emosi.

"Apakah kau membiarkan orang lain menghina leluhur kita, Pandu?" berkata sang Destarata kepada adiknya, hingga akhirnya Pandu Dewanata menyanggupi tantangan Narasoma.

"Aku tidak pernah menolak tantangan, Narasoma! Jika itu yang menjadi pertaruhanmu, aku tidak menolak!"

Masih disaksikan oleh ribuan rakyat Mandura, para kesatria dan juga raja-raja mancanegara, sayembara kembali digelar. Pandu Dewanata berdiri di tengah gelanggang, gondewa dan anak panahnya telah siap dalam genggaman. Tatkala sangkar besi mulai diputar kencang, Pandu membidik sasarannya. Panah melesat cepat mengarah sasaran, begitu kuatnya tenaga yang mendorong anak panah hingga sangkar besi terlepas dari tiang pancang. Semua yang hadir tercengang dan berdecak kagum. Pandu tidak hanya mampu melakukan seperti yang dilakukan Narasoma, lebih dari itu, selain panah Pandu mampu menyusup jari-jari besi dan menembus seekor burung di dalam sangkarnya, ia pun sekaligus mampu menjatuhkan sangkarnya. Sorak sorai terdengar mengumandang, memuji kehebatan Pandu Dewanata.

Narasoma tidak menyangka Pandu mampu melakukannya, dan dengan sangat malu Narasoma akhirnya menyerahkan Kunti Nalibrata kepada Pandu, ia kemudian pergi meninggalkan Mandura. Kini Dewi Kunti telah menjadi milik Pandu Dewanata. Prabu Basukunti merasa sangat senang, tidak disangka akhirnya ia akan berbesan dan menjalin kekerabatan dengan Hastinapura. Keesokan harinya, setelah mendapat restu dari Prabu Basukunti, Pandu Dewanata memboyong dewi Kunti untuk dibawa ke Hastinapura.

Saat menuju perjalanan pulang, di tengah perjalanan, masih dalam wilayah negara Mandura, rombongan Pandu Dewanata terhenti. Pandu menghentikan laju kereta kencananya ketika di hadapanya telah menghadang seorang kesatria penunggang kuda. Kesatria itu tidak lain adalah Narasoma. Ternyata putra Prabu Mandrapati tidak benar-benar meninggalkan Mandura, ia tidak langsung pulang ke Mandaraka. Setelah kemarin meninggalkan gelanggang sayembara, di tengah perjalanan pulang, Narasoma merasa bimbang. Ia teringat ayahandanya, Prabu Mandrapati yang sedang terbaring sakit. Apa yang akan ia katakan di hadapan ayahandanya nanti. Apakah ia harus bercerita dusta dengan mengatakan ia kalah dalam pertandingan sayembara? Atau menceritakan terus terang bahwa kemenangannya telah digadaikan untuk sebuah pertaruhan? Semua itu hanya akan memperparah sakit ayahandanya, maka dari itu Narasoma memutuskan untuk tidak langsung pulang ke Mandaraka, ia berbalik arah menghadang Pandu.

"Kenapa kau menghadang perjalananku, Narasoma?"

"Pertaruhan kemarin kurang menguntungkan buatku, Pandu. Aku ingin kau mengulang kembali pertaruhan itu. Kita tanding jurit! Jika aku yang menang, maka kau serahkan kembali Dewi Kunti kepadaku, tapi jika aku yang kalah, aku akan menyerahkan adiku, Dewi Madrim kepadamu."

"Silahkan, kau yang memulai Narasoma..."

Keduanya lalu terlibat perang tanding. Narasoma menggempur Pandu dengan serangan yang begitu mematikan, dan Pandu mengimbanginya. Pertempuran mereka sangat seimbang, sama-sama digjaya, sama-sama menguasai ilmu kanuragan, dan senjata. Terkadang Pandu Dewanata terdesak oleh serangan Narasoma yang dilancarkan secara bertubi-tubi, begitu pula sebaliknya. Narasoma sempat dibikin kerepotan dengan serangan balik yang dilancarkan Pandu.

Perang semakin menjadi, daya-daya kesaktian mereka memporak porandakan sekitarnya. Tanah batu berhamburan, pohon-pohon tumbang dan terbakar. Dan ketika keduanya beradu pukulan sakti, Narasoma terpental jauh dan jatuh terpelanting. Darah segar menyembur dari mulutnya, dadanya berdenyut sakit. Saat itu amarahnya kian menjadi, ia pun lalu ingin menjajal kesaktian Chandrabhirawa. Tapi sesaat ketika Narasoma hendak membaca mantra Chandrabhirawa, ia teringat pesan mendiang mertuanya, Resi Bhagaspati.

"Narasoma... Aji Candrabhirawa sangat ampuh, namun aji kesaktian itu akan sangat tidak bertuah jika hanya dipergunakan untuk mengagungkan nafsu diri dan keserakahan.
Jaga dan rawatlah Setyawati, kasih sayangilah dia, cintai dia dengan sepenuh kasih sayang. Janganlah kau sia-siakan dia, walaupun dia hanya seorang anak gadis gunung yang jauh dari suba sita dan kekurangan tata pergaulan kerajaan, tetapi dia anak yang baik, patuh dan sangat setia kepadamu. Pegang teguh janjimu, Narasoma..."

Kata-kata Resi Bagaspati mengiang di telinganya, seolah sang resi membisikan langsung kepadanya, mengingatkan sumpahnya. Narasoma sangat terganggu karenanya, ia mencoba melupakan dan tidak memperdulikan, amarahnya sudah terlanjur berkobar. Ia segera merapal aji Chandrabirawa. Sekejap, di hadapannya telah berdiri sosok raksasa cebol dengan seringai taring yang terlihat menyeramkan.

"Chandrabirawa! Binasakan musuhku!"

Raksasa Chandrabirawa segera melaksanakan perintah tuannya, ia menyerang Pandu secara membabi buta. Mendapat serangan demikian, Pandu segera mengeluarkan pusaka Chandrasa.

Cras! Cras! Cras!

Beberapa kali pusaka Pandu melukai tubuh Chandrabirawa. Darah bercipratan keluar dari tubuh Chandrabirawa. Ajaib! setiap percik darah yang membasahi tanah bebatuan dan rerumputan berubah wujud menjadi raksasa cebol yang bentuk dan rupanya sama persis dengan Chandrabirawa. Tanpa diperintah, raksasa-raksasa jelmaan itu menyerang Pandu secara serentak. Pandu terkejut melihat keanehan yang terjadi pada musuhnya, beberapa kali ia mencoba membinasakan raksasa-raksasa jelmaan Chandrabirawa dengan pusakanya, tapi Chandrabirawa justru semakin banyak jumlahnya. Pandu menjadi kerepotan menghadapi musuh yang bertambah banyak jumlahnya, ia hanya berkelit, menangkis, dan menghindari serangan, ia tidak lagi melukai raksasa jejadian Chandrabirawa karena akan semakin bertambah banyak.

"Duuh... ayahanda Resi Abyasa... ayahanda Bhisma... putramu keteteran menghadapi musuh-musuh ini..."
Pandu membatin. Ia merasa putus asa menghadapi Chandrabirawa. Dan pada saat-saat yang kritis, Pandu mendapat bisikan ghaib dari ayahandanya, Resi Abyasa. Pandu dititah melakukan hening cipta, memusatkan segala nafsu murni dengan berpasrah diri kepada Yang Maha Tunggal.


Raksasa-raksasa Chandrabirawa kebingungan ketika melihat musuhnya tidak melakukan apa-apa, diam tak bergerak. Naluri mereka pun mengisyaratkan seperti tidak ada nafsu pada diri seseorang yang menjadi lawannya. Dalam keadaan seperti itulah secara serta merta raksasa-raksasa Chandrabirawa berkurang jumlahnya, terus dan terus berkurang hingga kembali menjadi satu wujud Chandrabirawa.

Chandrabirawa melesat kembali masuk ke dalam gua garba Narasoma. Candrabhirawa berkata kepada Narasoma agar tidak mempergunakannya melawan orang-orang yang tidak memiliki nafsu angkara. Pandu tidak menyia-nyiakan kesempatan, ia segera menerjang Narasoma yang sedang dalam kebingungan. Putra Mandaraka terbanting dan jatuh terkapar saat pukulan-pukulan Pandu beruntun menghantam dirinya, dan ketika Narasoma tertaih mencoba bangun, ujung pusaka Pandu telah mengancam di hadapannya. Akhirnya Narasoma menyerah, dan berjanji akan memboyong Dewi Madrim ke Hastinapura.

Pandu beserta rombongan kembali melakukan perjalanan pulang ke Hastinapura. Di tengah perjalanan ia kembali dihadang. Kali ini yang menghadangnya adalah Harya Suman, putra Prabu Suwala dari negeri Gandhara. Harya Suman yang juga telah terlambat mengikuti sayembara segera mengejar perjalanan Pandu Dewanata.




Harya Suman dan Pandu kemudian terlibat perang tanding, tetapi pertarungan itu tidak memakan waktu cukup lama. Putra mahkota Gandhara bukanlah lawan tanding yang tangguh bagi Pandu, dengan mudah Pandu dapat membuat Harya Suman tidak berdaya. Harya Suman menyerah dan berjanji akan memboyong kakaknya,  Dewi Gandhari ke Hastinapura.

"Aku pegang janjimu, jika kau berdusta, maka Hastinapura akan meluluh lantakan negerimu!"

Hastinapura mendapatkan tiga putri boyongan, Dewi Kunti dari negara Mandura, Dewi Madrim dari negara Mandaraka, dan Dewi Ghandari dari negara Gandhara. Ketiga putri tersebut awalnya akan dipasangkan dengan Destarata, Pandu Dewanata, dan Widura, akan tetapi Widura menolak. Ia beralasan ketiga putri tersebut usianya tidak sepadan dengan dirinya, maka Widura memberikan haknya kepada Pandu, karena Pandu yang telah banyak berjasa dalam memenangkan sayembara.

Untuk menghargai Destarata sebagai putra tertua, Pandu memberi kesempatan kakaknya memilih satu diantara ketiga putri tersebut. Dalam hati ketiga putri itu sendiri sebenarnya mereka menolak dijodohkan dengan Destarata yang tunanetra, apalagi tahta Hastina akan diwariskan kepada Pandu Dewanata, maka ketiganya memanjatkan doa agar tidak terpilih oleh Destarata.

Dewi Gandhari dengan dibantu adiknya, Harya Suman mencoba membaluri tubuhnya dengan bau hanyir ikan dengan maksud agar dirinya tidak terpilih oleh Destarata. Tetapi, Destarata yang selalu menggunakan naluri, menggunakan indra penciumannya dalam memilih, saat ia mencium bau hanyir ikan yang berasal dari tubuh Gandhari, bau hanyir itu justru mengingatkannya pada panggang ikan yang menjadi makanan kesukaannya, maka Destarata memutuskan jatuh pilihannya kepada Dewi Gandhari.

Pandu Dewanata kemudian naik tahta menjadi raja Hastinapura menggantikan Praburesi Abyasa (Prabu Krisna Dwipayana) yang mandita di Wukir Retawu. Ia memiliki dua permaisuri yaitu, Dewi Kunti dan Dewi Madrim. Kelak dari rahim kedua putri tersebut akan lahir kesatria-kesatria utama, Pandawa Lima. Dari dewi Kunti akan lahir Yudhistira, Bima, dan Arjuna, sedangkan dari rahim Dewi Madrim lahir Nakula dan Sadewa.

Sementara, Narasoma sendiri telah dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahandanya, Prabu Mandrapati yang telah meninggal setelah mendengar kegagalan putranya dalam merebut sayembara. Narasoma menjadi raja Mandaraka dengan gelar Prabu Salyapati. Dari rahim Pujawati, Narasoma dianugerahi lima orang anak, yaitu ; Dewi Erawati (kelak menjadi istri Baladewa), Dewi Surtikanti (kelak menjadi istri Basukarna), Dewi Banowati (kelak menjadi istri Duryudhana), Bhurisrawa, dan Rukmarata. Hanya saja, salah satu putra Narasoma/Prabu Salya yang bernama Bhurisrawa berwajah buruk seperti raksasa. Ini dikarenakan dahulu Narasoma merasa jijik mempunyai mertua seorang raksasa.