Kamis, 03 Juli 2014

Animandaya

ANIMANDAYA BEGAWAN, terkadang disebut Begawan Nimandaya atau Nimandawya, adalah pertapa Sakti yang mengutuk Batara Darma sehingga dewa kejujuran, keadilan, dan kebenaran itu harus menjalani hidup sebagai manusia biasa yang dilahirkan oleh wanita berdarah sudra.

Pada suatu saat ketika:
Begawan Animandaya sedang bertapa membisu, seorang pencuri masuk ke pertapaannya. Pencuri itu menyembunyikan barang curiannya di salah satu sudut pertapaan, kemudian ia bersembunyi. Beberapa saat kemudian datanglah para punggawa kerajaan yang mengejar pencuri itu. Mereka menanyakan kepada sang Pertapa, di manakah pencuri itu bersembunyi. Namun karena selama bertapa mbisu tidak boleh berbicara, Begawan Animandaya tidak menjawab sepatah kata pun. la tetap saja meneruskan tapanya.
Karena tidak mendapat jawaban, para prajurit lalu masuk dan menggeledah pertapaan. Tidak lama kemudian mereka menemukan barang curian itu. Karena adanya barang bukti itu Begawan Animandaya ditangkap dan dibawa ke hadapan raja.

Sang Raja menanyakan soal barang curian yang ditemukan di pertapaan itu kepada Begawan Animandaya, tetapi pertapa itu tetap saja membisu. Akibatnya, sang Raja marah dan menjatuhkan hukuman yang amat berat kepada Begawan Animandaya. Tubuh pertapa itu ditusuk dengan tombak di bagian anusnya, tembus hingga ke ubun-ubun. Namun karena kesaktian yang dimilikinya, Begawan Animandaya tidak mati. ia tetap hidup dan sehat segar, walaupun sebatang tombak membuat tubuhnya seperti sate. Melihat kesaktian sang Pertapa yang luar biasa ini sang Raja menyesal dan minta maaf atas kecerobohannya menjatuhkan hukuman. Sang Pertapa memaafkannya.

Bertahun-tahun kemudian Begawan Animandaya meninggal karena usia tua. Di kahyangan suksma sang Pertapa datang menemui Batara Darma dan menanyakan tentang pengalamannya ketika hidup di dunia. Mengapa ketika masih hidup dulu ia harus menerima nasib buruk dan mengalami penyiksaan keji padahal selalu berbuat kebaikan. Batara Darma menjawab, memang seingat Animandaya ia selalu berbuat kebaikan dan tidak pernah berbuat keji. Namun Batara Darma mengingatkan, ketika masih kecil Animandaya pernah menyiksa seekor belalang dengan menusuk tubuh binatang itu hidup-hidup dengan sebatang lidi. Menurut Dewa Keadilan, apa yang pernah dialami oleh Begawan Animandaya semasa hidupnya sudah sesuai dengan karmanya.

Jawaban Batara Darma ini tidak memuaskan Begawan Animandaya. Setahu pertapa itu, aturan agama apa pun tidak menyebutkan bahwa perbuatan anak-anak tidak dianggap sebagai suatu dosa, apa lagi bilamnna si Anak yang berbuat itu belum paham mengenai soal salah dan benar. Mendengar bantahan Animandaya itu, Batara Darma terdiam. Ia tidak dapat menjawab.

Karena tidak puas, Animandaya lalu mengucapkan kutukannya, Batara Darma harus menjalani hidup di dunia sebagai manusia biasa, dan dilahirkan oleh seorang wanita berdarah sudra. Kutukan itu ternyata terbukti, Batara Darma terpaksa turun ke dunia dan menitis pada Yama Widura, putra Abiyasa dari Dayang Drati, seorang pelayan istana yang berdarah sudra.

Kangsa Lahir

Raja Darmaji berusaha mencari mahkota Bathara Rama, lalu pergi ke kerajaan Dwarawati. Ketika raja Darmaji datang, raja Dwarawati, Ditya Kresna sedang dihadap oleh Patih Muksamuka, Murkabumi, Muksala, Karungkala dan Gelapsara. Ditya Kresna menyapa dan bertanya maksud kedatangan Darmaji. Raja Darmaji meminta mahkota Bathara Rama yang dipakai Ditya Kresna. Namun Ditya Kresna tidak mau memberikannya, maka terjadilah perkelahian. Raja Darmaji mati karena digigit, dan putus perutnya.

Angsawati, isteri pertama Basudewa, cemburu akibat kehadiran Ugraini dan Badraini. Ia berusaha membunuh mereka namun gagal. Pada suatu malam Angsawati bertemu dengan raja Gorawangsa yang menyamar sebagai raja Basudewa. Angsawati tidak mengira bahwa yang dijumpainya adalah Basudewa palsu. Namun Angsawati menyambut dengan senang hati. Pertemuan Angsawati dengan Basudewa palsu berkepanjangan, akhirnya Angsawati hamil. Raja Basudewa sungguhan tidak mengetahui hal itu. Ia tidak mengerti bahwa isterinya hamil karena Gorawangsa. Pada bulan ketujuh, raja hendak mengadakan selamatan. Sang raja dan para pegawai istana hendak berburu ke hutan. Basusena bertugas menunggu kerajaan.

Pada suatu malam Basusena berkeliling di istana. Waktu tiba di tempat tinggal Angsawati ia mendengar suara tamu pria di kamar. Setelah dilihat, nampak bahwa pria dalam kamar itu adalah Basudewa. Setelah Basusena lama memandang, Basudewa nampak seperti raksasa. Basudewa palsu diserang, terjadilah perkelahian. Basusena mengenakan senjata, lalu Basudewa palsu berubah menjadi Gorawangsa. Raksasa Gorawangsa lari kembali ke negara Jadingkik.

Basusena kembali ke hutan, melapor peristiwa yang terjadi di istana. Dikatakannya, Angsawati berbuat serong dengan raksasa. Raja Basudewa marah, Basusena disuruh membawa Angsawati ke hutan, untuk kemudian membunuh dan mengambil hatinya. Bila hati Angsawati berbau busuk berarti bayi dalam kandungan bukan anaknya, sedangkan bila berbau harum berarti bayi itu anak Basudewa.

Basusena menjalankan perintah raja Basudewa. Angsawati dibawa ke tengah hutan dan dibunuhnya. Hatinya diambil, dan setelah dicium ternyata berbau busuk. Basusena membawa hati itu kepada sang raja. Karena hati tersebut berbau busuk, raja percaya bahwa bayi dalam kandungan bukanlah anaknya.

Bathara Wisnu, Dewi Sri dan Bathara Basuki mengelilingi dunia guna mencari titisan raja Watugunung. Diketahuinya, raja Gorawangsa adalah titisan raja Watugunung. Maka Bathara Wisnu meminta Bathara Basuki agar menitis kepada raja Basudewa, untuk mengalahkan raja Gorawangsa. Bathara Wisnu kembali ke kahyangan. Kepada Bathara Guru, ia minta ijin untuk menitis ke dunia, untuk membunuh titisan raja Watugunung. Bathara Guru memberi ijin, dan memberi tugas kepada Bathara Wisnu untuk mengadu ayah melawan anak, mengadu sesama saudara. Namun Bathara Wisnu tidak boleh ikut berperang, hanya diperkenankan terlibat dalam pembicaraan.

Bathara Wisnu menerima tugas tersebut tetapi mengajukan permintaan. Permintaan itu ialah bagi mereka yang bermusuhan supaya diperkenankan naik ke surga, supaya dirinya diperkenankan duduk di dua belah pihak, dan supaya disertai Bathara Basuki untuk bersama menitis ke dunia. Bathara Guru mengabulkan permintaan tersebut, lalu menyuruh Bathara Narada agar keberanian Wisnu dijelmakan kepada Arjuna. Sedang Bathara Wisnu diminta menjelma menjadi putra Basudewa.

Bathara Wisnu turun ke dunia bersama Dewi Sri. Senjata Cakranya dititipkan kepada awan yang dijaga dua dewa. Bathara Wisnu berpesan, bahwa senjata itu hanya boleh diambil Narayana. Selain Nayarana, tidak seorang pun berhak mengambilnya.

Raja Basudewa telah mempunyai putra. Ugraini telah melahirkan anak laki-laki berkulit putih, titisan Bathara Basuki. Anak itu diberi nama Kakrasana. Bathara Wisnu dan Dewi Sri merasuk ke jiwa raja Basudewa. Saat mereka merasuk, Basudewa bermimpi melihat matahari dan bulan. Matahari dan bulan itu kemudian bersatu.

Anak Angsawati yang dibawa raja Gorawangsa diberi nama Kangsa. Setelah dewasa Kangsa menanyakan, siapa ibunya. Gorawangsa menjelaskan bahwa ibunya bernama Angsawati, isteri Basudewa raja Mandura. Tetapi ibunya telah meninggal dunia, dibunuh oleh Basusena atas perintah raja Basudewa. Mendengar penjelasan Gorawangsa itu Kangsa ingin membalas kematian ibunya. Gorawangsa berpesan agar Kangsa menemui pamannya yang bernama Arya Prabu, adik Angsawati. Kangsa meninggalkan Jadingkik menuju ke Mandura.

Di Mandura Kangsa menemui Arya Prabu, lalu menyampaikan maksud kedatangannya. Arya Prabu berjanji akan membantunya. Mereka berdua menghadap raja Basudewa yang sedang dihadap Basusena dan warga Mandura. Kangsa menyampaikan maksud kedatangannya, yakni ia akan membalas kematian ibunya. Terjadilah perkelahian antara Kangsa dengan Basusena. Basusena kalah, lalu melarikan diri. Raja Basudewa dimasukkan ke dalam penjara. Gorawangsa datang bersama pasukan raksasa. Kangsa lalu menduduki tahta kerajaan Mandura.

Basudewa berhasil melarikan diri bersama dengan Badraini yang sedang hamil dan Kakrasana yang masih kanak-kanak. Perjalanan mereka terhalang oleh Bengawan Erdura. Bathara Sakra datang menolong dan menyeberangkan mereka. Basudewa diminta mengungsi ke kademangan Widarakandang. Sang Bathara memberi tahu bahwa kelak Badraini akan melahirkan dua anak. Anak-anak itu agar diberi nama Narayana dan Endhang Panangling. Setelah berpesan, Bathara Sakra menghilang, kembali ke Kahyangan. Kedatangan Basudewa, Badraini dan Kakrasana di Widarakandhang diterima oleh demang Antagopa dan isterinya. Di Widarakandhang Badraini melahirkan seorang bayi laki-laki dan dua orang perempuan, yang berkulit hitam. Sesuai pesan Bathara Sakra, Basudewa memberi nama kedua anaknya, Nayarana dan Endhang Panangling. Sedangkan Badraini memberi nama yang seorang lagi, Sumbadra. Tiga anak itu diasuh oleh Ki Antagopa dan Ni Sagopi.

Basudewa

  
PRABU BASUDEWA adalah putra sulung Prabu Basukunti raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Dayita, putri Prabu Kunti, raja Boja.Basudewa mempunyai tiga orang saudara kandung masing-masing bernama: Dewi Prita/Dewi Kunti, Arya Prabu Rukma dan Arya Ugrasena.

Prabu Basudewa mempunyai tiga orang isteri/permaisuri dan 4 (empat) orang putra.Dengan permaisuri Dewi Mahira/Maerah (Jawa) ia berputra Kangsa. Kangsa sebenaranya putra Prabu Gorawangsa, raja raksasa negara Gowabarong yang dengan beralih rupa menjadi Prabu Basudewa palsu dan berhasil mengadakan hubungan asmara dengan Dewi Mahira.

Dengan permaisuri Dewi Mahindra/Maerah (Jawa), Prabu Basudewa memperoleh dua orang putra bernama; Kakrasana dan Narayana. Sedangkan dengan permaisuri Dewi Badrahini berputra Dewi Wara Sumbadra/Dewi Lara Ireng. 

Secara tidak resmi, Prabu Basudewa juga mengawini Ken Sagupi, swaraswati Keraton Mandura, dan memperoleh seorang putra bernama Arya Udawa.

Prabu Basudewa sangat sayang kepada keluarganya. Basudewa pandai olah keprajuritan dan mahir memainkan senjata panah dan lembing. Setelah usia lanjut, ia menyerahkan Kerajaan Mandura kepada putranya, Kakrasana, dan hidup sebagai pendeta di Pertapaan Randugumbala. Prabu Basudewa meninggal saat negara Mandura digempur Prabu Sitija/ Bomanarakasura raja Negara Surateleng.

======================

BASUDEWA, PRABU, adalah raja Mandura. Kerajaan ini sebelumnya bernama Boja. Walaupun sebenarnya ia anak kedua, Basudewa mewarisi tahta kerajaan itu dari ayahnya, yaitu Prabu Basukunti atau Kuntiboja. Hal itu disebabkan karena anak sulung Prabu Basukunti adalah Dewi Sruta, seorang putri. Ibu Basudewa bernama Dewi Bandondari. Adik-adik Basudewa ada tiga orang. Mereka adalah Haryaprabu Rukma, Ugrasena, dan Dewi Prita, alias Kunti Nalibrata.

Istri Prabu Basudewa ada tiga orang. Istri pertamanya bernama Dewi Maerah, lalu yang kedua Dewi Mahindra, dan yang ketiga Dewi Badraini. Dengan Dewi Mahindra, Basudewa mendapat anak kembar, Kakarasana dan Narayana. Kakrasana kelak menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja Mandura dengan gelar Prabu Baladewa, sedangkan Narayana menjadi raja di Dwarawati dengan gelar Prabu Kresna. Dari Dewi Badraini ia memperoleh anak perempuan, diberi nama Bratajaya alias Wara Subadra. Kelak, Dewi Subadra menjadi salah seorang istri Arjuna. Bahkan menjadi istri utama.

Dewi Maerah, istri pertama, karena terlibat skandal yang memalukan dengan Prabu Gorawangsa, raja raksasa dari Kerajaan Guwabarong. Walaupun perselingkuhan itu bukan semata-mata kesalahan Dewi Maerah, demi martabat raja dan kerajaan Mandura, Dewi Maerah terpaksa dihukum mati. Namun adik Basudewa, yakni Haryaprabu Rukma yang ditugasi membunuh Dewi Maerah tidak sampai hati melaksanakan hukuman mati itu, setelah tabu bahwa Dewi Maerah mengandung. Akhirnya Dewi Maerah hanya ditinggalkan sendiri di tengah hutan. Wanita malang itu ditolong oleh seorang pertapa berujud raksasa bernama Resi Anggawangsa. Kelak Dewi Maerah melahirkan seorang bayi berwajah raksasa dan diberi nama Kangsa. Sesudah melahirkan anaknya, Dewi Maerah meninggal dunia. Bayi haram itu, dirawat, dipelihara, dan dididik dengan penuh kasih sayang oleh Resi Anggawangsa, seorang pendeta berujud raksasa. Setelah dewasa datang ke Mandura dan minta diakui sebagai anak Basudewa. Tuntutan si Anak Haram itu dikabulkan. Raja Mandura itu bahkan mengangkatnya menjadi raja muda di Sengkapura, yang masih termasuk wilayah Mandura.

Tetapi kebaikan hati Basudewa ternyata berbuah pahit. Pada suatu saat Kangsa datang ke Mandura menuntut agar diakui sebagai putra mahkota Kerajaan Mandura. Ia nenantang Basudewa untuk mengadu jago dengan kerajaan sebagai taruhannya. Usaha Kangsa untuk merebut tahta Mandura akhirnya digagalkan oleh Kakrasana dan Narayana dengan bantuan Bima serta Arjuna. Peristiwa percobaan kudeta itu dalam pewayangan dikisahkan dalam lakon 'Kangsa Adu Jago'. Namun selain yang empat orang itu Prabu Basudewa sebenarnya mempunyai anak gelap yang lahir dari seorang wanita penghibur bernama Ken Sayuda (ada yang menyebut Ken Yasuda). Anak gelapnya ini bernarna Udawa, yang kelak menjadi patih di Kerajaan Dwarawati, ketika Narayana menjadi raja di negeri itu...

Dalam Kitab Hariwangsa yang merupakan lampiran Kitab Mahabarata, Basudewa bukan raja Mandura. Yang menjadi raja negeri itu adalah Ugrasena, yang mempunyai anak bernama Kangsa. Setelah dewasa Kangsa mengambil alih takhta kerajaan secara paksa, dan Ugrasena dipenjarakan. Sedangkan Basudewa adalah suami Dewi Dewaki, adik Kangsa. Dengan demikian Basudewa, menurut Mahabarata, adalah ipar Kangsa. Istri Basudewa yang lain bernama Dewi Rohini, yang tidak ikut dipenjara. Jadi, menurut Mahabarata Basudewa tidak pernah menjadi raja. Menurut Mahabarata Pula, dari Dewi Dewaki, Basudewa mendapat anak Krishna (Kresna), Sedangkan dari Rohini anaknya dinamakan Balarama (Baladewa).

Sementara Mahabarata versi yang lain menyebutkan, baik Balarama maupun Krishna keduanya adalah anak Basudewa dari Dewi Dewaki. Kedua anaknya itu lahir ketika Basudewa dan Dewaki berada dalam penjara, sebagai korban kezaliman Kangsa. Balarama lahir sebagai anak ke enam, diselamatkan oleh Dewi Nendra, seorang bidadari yang menguasai rasa kantuk, dan dibawa keluar penjara lalu diserahkan pada Dewi Rohini, yang tinggal di luar penjara. Dewi Nendra meminta agar Dewi Rohini mengakui Balarama sebagai anaknya, demi keselamatan anak itu. Sedangkan Krishna begitu lahir diselundupkan ke luar penjara dan ditukar dengan bayi perempuan anak suami istri seorang penggembala bernama Gopa dan Nanda.

Dalam pewayangan Prabu Basudewa menampilkan karakter raja yang pernah membuat keputusan yang tidak bijaksana, dengan menjatuhkan hukuman mati bagi Dewi Maerah. Beberapa waktu kemudian raja itu sadar bahwa ia membuat kekeliruan, menjatuhkan hukuman yang terlalu berat. Prabu Basudewa mencoba menebus kekeliruannya dengan mengakui Kangsa sebagai anak dan bahkan kemudian memberikan kekuasaan atas wilayah Sengkapura, sebagai Raja Muda. Keputusan yang kurang dipikir panjang itu, dikemudian hari ternyata justru memperburuk keadaan. Kangsa yang diperlakukan dengan baik oleh Prabu Basudewa, meskipun ia hanya anak haram, ternyata malahan mengincar singgasana Kerajaan Mandura. Bahkah ketiga putra-putrinya terancam keselamatannya.

Untuk menghindarkan dari kemungkinan buruk yang mungkin ditimbulkan oleh ulah Kangsa, Prabu Basudewa secara diam-diam menitipkan Kakrasana, Narayana, dan Bratajaya pada Antagopa. Rasa aman bagi Prabu Basudewa dan terjaminnya takhta Mandura baru datang sesudah Kangsa tewas.