Sangkuni, atau yang dalam ejaan Sanskerta disebut Shakuni (: शकुनि ;
śakuni) adalah seorang tokoh antagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia
merupakan paman para Korawa dari pihak ibu. Sangkuni terkenal sebagai
tokoh licik yang selalu menghasut para Korawa agar memusuhi Pandawa.
Antara lain, ia berhasil merebut Kerajaan Indraprastha dari tangan para
Pandawa melalui sebuah permainan dadu.
Dalam
pewayangan Jawa, Sangkuni sering dieja dengan nama Sengkuni. ketika
para Korawa berkuasa di Kerajaan Hastina, ia diangkat sebagai patih.
Dalam pewayangan Sunda, ia juga dikenal dengan nama Sangkuning.
Asal-Usul Sangkuni dalam Versi Mahabharata
Menurut versi Mahabharata, Sangkuni berasal dari Kerajaan Gandhara.
Ayahnya bernama Suwala. Pada suatu hari adik perempuannya yang bernama
Gandari dilamar untuk dijadikan sebagai istri Dretarastra, seorang
pangeran dari Hastinapura yang menderita tunanetra. Sangkuni marah atas
keputusan ayahnya yang menerima lamaran tersebut. Menurutnya, Gandari
seharusnya menjadi istri Pandu, adik Dretarastra. Namun karena semuanya
sudah terjadi, ia pun mengikuti Gandari yang selanjutnya menetap di
istana Hastinapura.
Gandari memutuskan untuk selalu menutup kedua matanya menggunakan
selembar kain karena ia sangat setia kepada suaminya yang buta. Dari
perkawinan mereka lahir seratus orang Korawa, yang sejak kecil diasuh
oleh Sangkuni.
Di bawah asuhan Sangkuni, para Korawa tumbuh menjadi anak-anak yang
selalu diliputi rasa kebencian terhadap para Pandawa, yaitu putra-putra
Pandu. Setiap hari Sangkuni selalu mengobarkan rasa permusuhan di hati
para Korawa, terutama yang tertua, yaitu Duryodana.
Konon Sangkuni merupakan reinkarnasi dari Dwapara, yaitu seorang dewa yang bertugas menciptakan kekacauan di muka bumi.
Asal-Usul Sangkuni Versi Pewayangan
Dalam pewayangan, terutama di Jawa, Sengkuni bukan kakak dari Dewi
Gendari, melainkan adiknya. Sementara itu Gandara versi pewayangan bukan
nama sebuah kerajaan, melainkan nama kakak tertua mereka. Sengkuni
sendiri dikisahkan memiliki nama asli Harya Suman.
Pada mulanya raja Kerajaan Plasajenar bernama Suwala. Setelah
meninggal, ia digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Gandara. Pada
suatu hari Gandara ditemani kedua adiknya, yaitu Gendari dan Suman,
berangkat menuju Kerajaan Mandura untuk mengikuti sayembara
memperebutkan Dewi Kunti, putri negeri tersebut.
Di tengah jalan, rombongan Gandara berpapasan dengan Pandu yang
sedang dalam perjalanan pulang menuju Kerajaan Hastina setelah
memenangkan sayembara Kunti. Pertempuran pun terjadi. Gandara akhirnya
tewas di tangan Pandu. Pandu kemudian membawa serta Gendari dan Suman
menuju Hastina.
Sesampainya di Hastina, Gendari diminta oleh kakak Pandu yang bernama
Drestarastra untuk dijadikan istri. Gendari sangat marah karena ia
sebenarnya ingin menjadi istri Pandu. Suman pun berjanji akan selalu
membantu kakaknya itu melampiaskan sakit hatinya. Ia bertekad akan
menciptakan permusuhan di antara para Kurawa, anak-anak Drestarastra,
melawan para Pandawa, anak-anak Pandu.
Asal-Usul Nama Sangkuni
Menurut versi pewayangan Jawa, pada mulanya Harya Suman berwajah
tampan. Ia mulai menggunakan nama Sengkuni semenjak wujudnya berubah
menjadi buruk akibat dihajar oleh Patih Gandamana.
Gandamana adalah pangeran dari Kerajaan Pancala yang memilih mengabdi
sebagai patih di Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Pandu. Suman
yang sangat berambisi merebut jabatan patih menggunakan cara-cara licik
untuk menyingkirkan Gandamana.
Pada suatu hari Suman berhasil mengadu domba antara Pandu dengan
muridnya yang berwujud raja raksasa bernama Prabu Tremboko. Maka
terciptalah ketegangan di antara Kerajaan Hastina dan Kerajaan
Pringgadani. Pandu pun mengirim Gandamana sebagai duta perdamaian. Di
tengah jalan, Suman menjebak Gandamana sehingga jatuh ke dalam
perangkapnya.
Suman kemudian kembali ke Hastina untuk melapor kepada Pandu bahwa
Gandamana telah berkhianat dan memihak musuh. Pandu yang saat itu sedang
labil segera memutuskan untuk mengangkat Suman sebagai patih baru.
Tiba-tiba Gandamana yang ternyata masih hidup muncul dan menyeret Suman.
Suman pun dihajar habis-habisan sehingga wujudnya yang tampan berubah
menjadi jelek.
Sejak saat itu, Suman pun terkenal dengan sebutan Sengkuni, berasal
dari kata saka dan uni, yang bermakna “dari ucapan”. Artinya, ia
menderita cacad buruk rupa adalah karena hasil ucapannya sendiri.
Peristiwa Perebutan Minyak Tala
Versi pewayangan selanjutnya mengisahkan, setelah Pandu meninggal
dunia, pusakanya yang bernama Minyak Tala dititipkan kepada Drestarastra
supaya kelak diserahkan kepada para Pandawa jika kelak mereka dewasa.
Minyak Tala sendiri merupakan pusaka pemberian dewata sebagai hadiah
karena Pandu pernah menumpas musuh kahyangan bernama Nagapaya.
Beberapa tahun kemudian, terjadi perebutan antara para Pandawa
melawan para Kurawa yang ternyata juga menginginkan Minyak Tala.
Dretarastra memutuskan untuk melemparkan minyak tersebut beserta
wadahnya yang berupa cupu sejauh-jauhnya. Pandawa dan Kurawa segera
berpencar untuk bersiap menangkapnya.
Namun, Sengkuni dengan licik lebih dahulu menyenggol tangan
Drestarastra ketika hendak melemparkan benda tersebut. Akibatnya,
sebagian Minyak Tala pun tumpah. Sengkuni segera membuka semua
pakaiannya dan bergulingan di lantai untuk membasahi seluruh kulitnya
dengan minyak tersebut.
Sementara itu, cupu beserta sisa Minyak Tala jatuh tercebur ke dalam
sebuah sumur tua. Para Pandawa dan Kurawa tidak mampu mengambilnya.
Tiba-tiba muncul seorang pendeta dekil bernama Durna yang berhasil
mengambil cupu tersebut dengan mudah. Tertarik melihat kesaktiannya,
para Kurawa dan Pandawa pun berguru kepada pendeta tersebut.
Sengkuni yang telah bermandikan Minyak Tala sejak saat itu mendapati
seluruh kulitnya kebal terhadap segala jenis senjata. Meskipun ilmu bela
dirinya rendah, namun tidak ada satu pun senjata yang mampu menembus
kulitnya.
Usaha-Usaha Licik dan Intrik Jahat Sangkuni dan Kurawa untuk Menyingkirkan Pandawa
Baik dalam versi Mahabharata maupun versi pewayanagan, Sengkuni
merupakan penasihat utama Duryudana, pemimpin para Kurawa. Berbagai
jenis tipu muslihat dan kelicikan ia jalankan demi menyingkirkan para
Pandawa.
Dalam Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa, Sangkuni menciptakan
kebakaran di Gedung Jatugreha, tempat para Pandawa bermalam di dekat
Hutan Waranawata. Namun para Pandawa dan ibu mereka, yaitu Kunti
berhasil meloloskan diri dari kematian. Dalam pewayangan, peristiwa ini
terkenal dengan nama Bale Sigala-Gala.
Usaha Sengkuni yang paling sukses adalah merebut Kerajaan
Indraprastha dari tangan para Pandawa melalui permainan dadu melawan
pihak Kurawa. Kisah ini terdapat dalam Mahabharata bagian kedua, atau
Sabhaparwa.
Peristiwa tersebut disebabkan oleh rasa iri hati Duryudana atas
keberhasilan para Pandawa membangun Indraprastha yang jauh lebih indah
daripada Hastinapura. Atas saran Sengkuni, ia pun mengundang para
Pandawa untuk bermain dadu di Hastinapura. Dalam permainan itu Sengkuni
bertindak sebagai pelempar dadu Kurawa. Dengan menggunakan ilmu
sihirnya, ia berhasil mengalahkan para Pandawa. Sedikit demi sedikit
harta benda, istana Indraprastha, bahkan kemerdekaan para Pandawa dan
istri mereka, Dewi Drupadi jatuh ke tangan Duryudana.
Mendengar Drupadi dipermalukan di depan umum, Dewi Gendari ibu para
Kurawa muncul membatalkan semuanya. Para Pandawa pun pulang dan
mendapatkan kemerdekaan mereka kembali. Karena kecewa, Duryudana
mendesak ayahnya, Drestarastra, supaya mengizinkannya untuk menantang
Pandawa sekali lagi. Drestarastra yang lemah tidak kuasa menolak
keinginan anak yang sangat dimanjakannya itu.
Maka, permainan dadu yang kedua pun terjadi kembali. Untuk kedua
kalinya, pihak Pandawa kalah di tangan Sengkuni. Sebagai hukuman, mereka
harus menjalani hidup selama 12 tahun di dalam hutan, dan dilanjutkan
dengan menyamar selama setahun di suatu negeri. Jika penyamaran mereka
sampai terbongkar, mereka harus mengulangi kembali selama 12 tahun hidup
di dalam hutan dan begitulah seterusnya.
Kematian Sangkuni di Kurukshetra oleh Bima versi Jawa.
Setelah masa hukuman selama 13 tahun berakhir, para Pandawa kembali
untuk mengambil kembali negeri mereka dari tangan Kurawa. Namun pihak
Kurawa menolak mengembalikan Kerajaan Indraprastha dengan alasan
penyamaran para Pandawa di Kerajaan Wirata telah terbongkar. Berbagai
usaha damai diperjuangkan pihak Pandawa namun semuanya mengalami
kegagalan. Perang pun menjadi pilihan selanjutnya.
Pertempuran besar di Kurukshetra antara pihak Pandawa melawan Kurawa
dengan sekutu masing-masing akhirnya meletus. Perang yang juga terkenal
dengan sebutan Baratayuda ini berlangsung selama 18 hari, di mana
Sengkuni tewas pada hari terakhir.
Menurut versi Mahabharata bagian kedelapan atau Salyaparwa, Sengkuni
tewas di tangan Sadewa, yaitu Pandawa nomor lima. Pertempuran
habis-habisan antara keduanya terjadi pada hari ke-18. Sengkuni
mengerahkan ilmu sihirnya sehingga tercipta banjir besar yang menyapu
daratan Kurukshetra, tempat perang berlangsung.
Dengan penuh perjuangan, Sadewa akhirnya berhasil memenggal kepala Sengkuni. Riwayat tokoh licik itu pun berakhir.
Kisah versi asli di atas sedikit berbeda dengan Kakawin Bharatayuddha
yang ditulis pada zaman Kerajaan Kadiri tahun 1157. Menurut naskah
berbahasa Jawa Kuna ini, Sengkuni bukan mati di tangan Seadewa,
melainkan di tangan Bima, Pandawa nomor dua. Sengkuni dikisahkan mati
remuk oleh pukulan gada Bima. Tidak hanya itu, Bima kemudian
memotong-motong tubuh Sengkuni menjadi beberapa bagian.
Kisah tersebut dikembangkan lagi dalam pewayangan Jawa. Pada hari
terakhir Baratayuda, Sengkuni bertempur melawan Bima. Kulitnya yang
kebal karena pengaruh Minyak Tala bahkan sempat membuat Bima menjadi
pusing karena tidak bisa mengalahkan Sengkuni.
Penasihat Pandawa selain Kresna, yaitu Semar muncul memberi tahu Bima
bahwa kelemahan Sengkuni berada di bagian dubur, karena bagian tersebut
dulunya pasti tidak terkena pengaruh Minyak Tala. Bima pun maju
kembali. Sengkuni ditangkap dan disobek duburnya menggunakan Kuku
Pancanaka yang tumbuh di ujung jari Bima.
Ilmu kebal Sengkuni pun musnah. Dengan beringas, Bima menyobek dan
menguliti Sengkuni tanpa ampun. Meskipun demikian, Sengkuni hanya
sekarat tetapi tidak mati.
Pada sore harinya Bima berhasil mengalahkan Duryudana, raja para
Kurawa. Dalam keadaan sekarat, Duryudana menyatakan bahwa dirinya
bersedia mati jika ditemani pasangan hidupnya, yaitu istrinya yang
bernama Dewi Banowati. Atas nasihat Kresna, Bima pun mengambil Sengkuni
yang masih sekarat untuk diserahkan kepada Duryudana. Duryudana yang
sudah kehilangan penglihatannya akibat luka parah segera menggigit leher
Sangkuni yang dikiranya Banowati.
Akibat gigitan itu, Sengkuni pun tewas seketika, begitu pula dengan
Duryudana. Ini membuktikan bahwa pasangan sejati Duryudana sesungguhnya
bukan istrinya, melainkan pamannya yaitu Sengkuni yang senantiasa
berjuang dengan berbagai cara untuk membahagiakan para Korawa.
RINGKASAN SABHAPARWA, BUKU YG MEMUAT INTRIK-INTRIK JAHAT SANGKUNI DAN KURAWA DALAM RANGKA MEMBINASAKAN PANDHAWA LIMA.
Sabhaparwa adalah buku kedua Mahabharata. Buku ini menceritakan
alasan mengapa sang Pandawa Lima ketika diasingkan dan harus masuk ke
hutan serta tinggal di sana selama 12 tahun dan menyamar selama 1 tahun.
Di dalam buku ini diceritakan bagaimana mereka berjudi dan kalah dari
Duryodana.
Ringkasan isi Kitab Sabhaparwa
I. Niat licik Duryodana dan Sangkuni
Semenjak pulang dari Indraprastha, Duryodana sering termenung
memikirkan usaha untuk mendapatkan kemegahan dan kemewahan yang ada di
Indraprastha. Ia ingin sekali mendapatkan harta dan istana milik
Pandawa. Namun ia bingung bagaimana cara mendapatkannya. Terlintas dalam
benak Duryodana untuk menggempur Pandawa, namun dicegah oleh Sangkuni.
Sangkuni berkata, “Aku tahu Yudistira suka bermain dadu, namun ia
tidak tahu cara bermain dadu dengan akal-akalan. Sementara aku adalah
rajanya main dadu dengan akal-akalan. Untuk itu, undanglah dia, ajaklah
main dadu. Nantinya, akulah yang bermain dadu atas nama anda. Dengan
kelicikanku, tentu dia akan kalah bermain dadu denganku. Dengan
demikian, anda akan dapat memiliki apa yang anda impikan”.
Duryodana tersenyum lega mendengar saran pamannya. Bersama Sangkuni,
mereka mengajukan niat tersebut kepada Dretarastra untuk mengundang
Pandawa main dadu. Duryodana juga menceritakan sikapnya yang iri dengan
kemewahan Pandawa. Dretarastra ingin mempertimbangkan niat puteranya
tersebut kepada Widura, namun karena mendapat hasutan dari Duryodana dan
Sangkuni, maka Dretarastra menyetujuinya tanpa pertimbangan Widura.
II. Pandawa dan Korawa main dadu
Dropadi dihina di muka umum saat Pandawa dan kalah main dadu dengan Korawa
Dretarastra menyiapkan arena judi di Hastinapura, dan setelah selesai
ia mengutus Widura untuk mengundang Pandawa bermain dadu di
Hastinapura. Yudistira sebagai kakak para Pandawa, menyanggupi undangan
tersebut. dengan disertai para saudaranya beserta istri dan pengawal,
Yudistira berangkat menuju Hastinapura. Sesampainya di Hastinapura,
rombongan mereka disambut dengan ramah oleh Duryodana. Mereka
beristirahat di sana selama satu hari, kemudian menuju ke arena
perjudian.
Yudistira berkata, “Kakanda Prabu, berjudi sebetulanya tidak baik.
Bahkan menurut para orang bijak, berjudi sebaiknya dihindari karena
sering terjadi tipu-menipu sesama lawan”. Setelah mendengar perkataan
Yudistira, Sangkuni menjawab, “Ma’af paduka Prabu. Saya kira jika anda
berjudi dengan Duryodana tidak ada jeleknya, sebab kalian masih
bersaudara. Apabila paduka yang menang, maka kekayaan Duryodana tidaklah
hilang sia-sia. Begitu pula jika Duryodana menang, maka kekayaan paduka
tidaklah hilang sia-sia karena masih berada di tangan saudara. Untuk
itu, apa jeleknya jika rencana ini kita jalankan?”
Yudistira yang senang main dadu akhirnya terkena rayuan Sangkuni.
Maka permainan dadu pun dimulai. Yudistira heran kepada Duryodana yang
diwakilkan oleh Sangkuni, sebab dalam berjudi tidak lazim kalau
diwakilkan. Sangkuni yang berlidah tajam, sekali lagi merayu Yudistira.
Yudistira pun termakan rayuan Sangkuni.
Mula-mula Yudistira mempertaruhkan harta, namun ia kalah. Kemudian ia
mempertaruhkan harta lagi, namun sekali lagi gagal. Begitu seterusnya
sampai hartanya habis dipakai sebagai taruhan. Setelah hartanya habis
dipakai taruhan, Yudistira mempertaruhkan prajuritnya, namun lagi-lagi
ia gagal. Kemudian ia mempertaruhkan kerajaannya, namun ia kalah lagi
sehingga kerajaannya lenyap ditelan dadu. Setelah tidak memiliki apa-apa
lagi untuk dipertaruhkan, Yudistira mempertaruhkan adik-adiknya.
Sangkuni kaget, namun ia juga sebenarnya senang. Berturut-turut
Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima dipertaruhkan, namun mereka semua
akhirnya menjadi milik Duryodana karena Yudistira kalah main dadu.
III. Dropadi dihina di muka umum
Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi,
namun kain tersebut terulur-ulur terus dan tak habis-habis karena
mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna
Harta, istana, kerajaan, prajurit, dan saudara Yudistira akhirnya
menjadi milik Duryodana. Yudistira yang tidak memiliki apa-apa lagi,
nekat mempertaruhkan dirinya sendiri. Sekali lagi ia kalah sehingga
dirinya harus menjadi milik Duryodana. Sangkuni yang berlidah tajam
membujuk Yudistira untuk mempertaruhkan Dropadi. Karena termakan rayuan
Sangkuni, Yudistira mempertaruhkan istrinya, yaitu Dewi Dropadi. Banyak
yang tidak setuju dengan tindakan Yudistira, namun mereka semua membisu
karena hak ada pada Yudistira.
Duryodana mengutus Widura untuk menjemput Dropadi, namun Widura
menolak tindakan Duryodana yang licik tersebut. karena Widura menolak,
Duryodana mengutus para pengawalnya untuk menjemput Dropadi. Namun
setelah para pengawalnya tiba di tempat peristirahatan Dropadi, Dropadi
menolak untuk datang ke arena judi. Setelah gagal, Duryodana menyuruh
Dursasana, adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi yang menolak untuk
datang, diseret oleh Dursasana yang tidak memiliki rasa kemanusiaan.
Dropadi menangis dan menjerit-jerit karena rambutnya ditarik sampai ke
arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul.
Dengan menangis terisak-isak, Dropadi berkata, “Sungguh saya tidak
mengira kalau di Hastina kini telah kehilangan banyak orang bijak.
Buktinya, di antara sekian banyak orang, tidak ada seorang pun yang
melarang tindakan Dursasana yang asusila tersebut, ataukah, memang semua
orang di Hastina kini telah seperti Dursasana?”, ujar Dropadi kepada
semua orang yang hadir di balairung. Para orangtua yang mendengar
perkataan Dropadi tersebut tersayat hatinya, karena tersinggung dan
malu.
Wikarna, salah satu Korawa yang masih memiliki belas kasihan kepada
Dropadi, berkata, “Tuan-Tuan sekalian yang saya hormati! Karena di
antara Tuan-Tuan tidak ada yang menanggapi peristiwa ini, maka
perkenankanlah saya mengutarakan isi hati saya. Pertama, saya tahu bahwa
Prabu Yudistira kalah bermain dadu karena terkena tipu muslihat paman
Sangkuni! Kedua, karena Prabu Yudistira kalah memperteruhkan Dewi
Dropadi, maka ia telah kehilangan kebebasannya. Maka dari itu, taruhan
Sang Prabu yang berupa Dewi Dropadi tidak sah!”
Para hadirin yang mendengar perkataan Wikarna merasa lega hatinya.
Namun, Karna tidak setuju dengan Wikarna. Karna berkata, “Hei Wikarna!
Sungguh keterlaluan kau ini. Di ruangan ini banyak orang-orang yang
lebih tua daripada kau! Baliau semuanya tentu tidak lebih bodoh daripada
kau! Jika memang tidak sah, tentu mereka melarang. Mengapa kau berani
memberi pelajaran kepada beliau semua? Lagipula, mungkin memang nasib
Dropadi seperti ini karena kutukan Dewa. cobalah bayangkan, pernahkah
kau melihat wanita bersuami sampai lima orang?”
Mendengar perkataan Karna, Wikarna diam dan membisu. Karena sudah
kalah, Yudistira dan seluruh adiknya beserta istrinya diminta untuk
menanggalkan bajunya, namun hanya Dropadi yang menolak. Dursasana yang
berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi. Dropadi berdo’a
kepada para Dewa agar dirinya diselamatkan. Sri Kresna mendengar do’a
Dropadi. Secepatnya ia menolong Dropadi secara gaib. Sri Kresna mengulur
kain yang dikenakan Dropadi, sementara Dursasana yang tidak
mengetahuinya menarik kain yang dikenakan Dropadi. Hal tersebut
menyebabkan usaha Dursasana menelanjangi Dropadi tidak berhasil.
Pertolongan Sri Kresna disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut
luka Sri Kresna pada saat upacara Rajasuya di Indraprastha.
Pandawa dibuang ke tengah hutan Melihat perbuatan Dursasana
yang asusila, Bima bersumpah kelak dalam Bharatayuddha ia akan merobek
dada Dursasana dan meminum darahnya. Setelah bersumpah, terdengarlah
lolongan anjing dan serigala, tanda bahwa malapetaka akan terjadi.
Dretarastra mengetahui firasat buruk yang akan menimpa keturunannya,
maka ia segera mengambil kebijaksanaan. Ia memanggil Pandawa beserta
Dropadi.
Dretarastra berkata, “O Yudistira, engkau tidak bersalah. Karena itu,
segala sesuatu yang menjadi milikmu, kini kukembalikan lagi kepadamu.
Ma’afkanlah saudara-saudaramu yang telah berkelakuan gegabah. Sekarang,
pulanglah ke Indraprastha”.
Setelah mendapat pengampunan dari Dretarastra, Pandawa beserta
istrinya mohon diri. Duryodana kecewa, ia menyalahkan perbuatan ayahnya
yang mengembalikan harta Yudistira. Dengan berbagai dalih, Duryodana
menghasut ayahnya. Karena Dretarastra berhati lemah, maka dengan mudah
sekali ia dihasut, maka sekali lagi ia mengizinkan rencana jahat
anaknya. Duryodana menyuruh utusan agar memanggil kembali Pandawa ke
istana untuk bermain dadu. Kali ini, taruhannya adalah siapa yang kalah
harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun, dan setelah masa
pengasingan berakhir (yaitu pada tahun ke-13), yang kalah harus menyamar
selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, barulah boleh kembali ke istana.
Sebagai kaum ksatria, Pandawa tidak menolak undangan Duryodana untuk
yang kedua kalinya tersebut. Sekali lagi, Pandawa kalah. Sesuai dengan
perjanjian yang sah, maka Pandawa beserta istrinya mengasingkan diri ke
hutan, hidup dalam masa pembuangan selama 12 tahun. Setelah itu menyamar
selama satu tahun. Setelah masa penyamaran, maka para Pandawa kembali
lagi ke istana untuk memperoleh kerajaannya.
Sabhaparwa di Indonesia Kitab Sabhaparwa juga dikenal dalam khazanah Sastra Jawa Kuna.